BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Kriminologi sebagai ilmu sosial yang terus mengalami
perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola
kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan
berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari
suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga
studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan
dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan
sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai
tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar
kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan.
Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih
menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada
sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta dampak-dampaknya.
Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali
pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting
dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para pakar
kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap
hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam
penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam pembahasan mengenai asal-usul
tingkah laku kriminal dan dalam pertimbangan mengenai faktor mana yang memegang
peran, utamanya di antara faktor keturunan atau faktor lingkungan, kriminolog
tersebut menarik kesimpulan bahwa, kriminalitas manusia normal adalah akibat,
baik dari faktor keturunan maupun dari faktor lingkungan, dimana kadang-kadang
dari faktor keturunan dan kadang-kadang pula faktor lingkungan memegang peran
utama, dan di mana kedua faktor itu juga dapat saling mempengaruhi.
Secara garis besarnya, bahwa faktor
keturunan dan faktor lingkungan masing-masing bukan satu faktor saja melainkan
suatu gabungan faktor, dan bahwa gabungan faktor ini senantiasa saling
mempengaruhi di dalam interaksi sosial orang dengan lingkungannya.
Jadi, seorang manusia normal bukan
ditentukan sejak lahir untuk menjadi kriminal oleh faktor pembawaannya yang
dalam saling berpengaruh dengan lingkungannya menimbulkan tingkah laku
kriminal, melainkan faktor-faktor yang terlibat dengan iteraksi lingkungan
sosial itulah yang memberikan pengaruhnya bahwa ia betul-betul menjadi kriminal
dalam pengaruh-pengaruh lingkungan yang memudahkannya itu.
1.2.
Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata
kuliah Kriminologi serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang
tipe penjahat dan hubungannya dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI yang
menonoton video porno dalam sidang paripurna .
BAB II
PERMASALAHAN
Hal yang ingin diangkat penulis menjadi masalah dalam
makalah ini adalah mengenai perilaku dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR-RI
) yang tertangkap kamera wartawan sedang menonton video porno dalam sidang
paripurna.
Masalah pokok di atas kemudian dikembangkan oleh penulis
dengan menggabungkan masalah di atas dengan ilmu kriminologi dan melihat
kejadian tersebut dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni :
1. Undang – undang nomor 44 tahun 2008
tentang Pornografi
2. Undang – undang nomor 11 tahun 2008
tentang ITE
Dengan dibantu oleh ilmu kriminologi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku masalah yang akan dikemukan oleh penulis ialah
:
1. Pengertian kejahatan dan penjahat ?
2. Apa pandangan krimonologi mengenai
perilaku anggota DPR RI yang tertangkap sedang nonton video porno dalam sidang
paripurna ?
3. Apa peraturan yang telah dilanggar
oleh anggota DPR RI dari peraturan diatas.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pengertian Kejahatan dan Penjahat
3.1.1. Kejahatan
Ada beberapa pengertian tentang
kejahatan diantaranya adalah sebagai berikut.
Istilah
kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat
buruk, sangat jelek, yang ditumpukkan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti
mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat.
Kejahatan ialah
suatu perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang pidana
yang berlaku tetapi juga betentangan dengan kesusilaan, kebudayaan dan
kebiasaan di masyarakat dan telah dijatuhkan hukuman dari pengadilan yang dapat
merugikan baik sosiologis maupun ekomoni.
Secara yuridis,
Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang
oleh undang-undang. Disini diperlukan suatu kepastian hukum, karena dengan ini
orang akan tahu apa perbuatan jahat dan apa yang tidak jahat.
Menurut Prof.
Dr. Wirjono Projodikoro, S.H. Kejahatan adalah pelanggaran dari norma-norma sebagai
unsur pokok kesatu dari hukum pidana.
Menurut Richard Quinney, Definisi tentang tindak kejahatan
(perilaku yg melanggar hukum) adalah perilaku manusia yang diciptakan oleh para
pelaku yang berwenang dalam masyarakat yang terorganisasi secara politik, atau
kualifikasi atas perilaku yang melanggar hukum dirumuskan oleh warga‑warga
masyarakat yang mempunyai kekuasaan.
Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan
kepentingan kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan
publik, atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku
yang bertentangan dengan kepentingan pihak‑pihak yang membuat perumusan.
Dilihat dari segi sosiologis, kejahatan merupakan salah satu
jenis gejala sosial, yang berkenaan dengan individu atau masyarakat.
Dalam rumusan Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan adalah
perbuatan manusia, yang merupakan palanggaran norma, yang dirasakan merugikan,
menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.
3.1.2. Penjahat
Penjahat adalah
orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh
undang-undang.
Menurut Vollmer
sebagai seorang tokoh di bidang kriminologi mengatakan bahwa penjahat adalah
orang yang dilahirkan tolol dan tidak mempunyai kesempatan untuk merubah
tingkah laku karena baginya tidak dapat mengendalikan dirinya dari perbuatan
anti sosial yang merugikan individu.
Menurut Parson
penjahat ialah orang yang mengancam kehidupan dan kebaikan orang lain dan
membebankannya pada masyarkat di sekelilingnya.
JE Sahetapy
mengatakan bahwa penjahat adalah orang-orang yang berkelakuan anti sosial dimana perbuatanya
bertentangan dengan norma-norma
kemasyarakatan dan agama serta merugikan dan menganggu ketertiban umum.
3.2.
Pandangan Kriminologi Terhadap Perilaku
Anggota DPR-RI
Dalam ilmu kriminologi ada bermacam-macam tipe penjahat,
salah satunya ialah menurut Ruth S. Cavan ada 9 penggolongan penjahat
yaitu:
1.
The causal of defender crime
2.
The occasional of crime
3.
The episode of crime
4.
The white color crime
5.
The habitual crime
6.
The professional crime
7.
The organize crime
8.
The abnormally mentally crime
9.
The milisionois crime
Dari ke-9 penggolongan penjahat di atas timbul pertanyaan
apakah yang dilakukan oleh anggota DPR-RI yakni menonton video porno dapat
dikatakan dia seorang penjahat? Jikalau iya, dia termasuk golongan pada yang
mana?
Dalam ilmu kriminologi dalam arti terbatas kita mempelajari
tentang bentuk, sebab dan akibat dari kejahatan.
Dari bentuk kejahatan ada beberapa faktor yaitu :
a. Bakat
b. Lingkungan ( milio )
c. Spiritual
d. Gabungan
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita dapat melihat dari
faktor terjadinya kejahatan serta beberapa pengertian penjahat di atas. Penulis
menyimpulkan bahwa apa yang anggota DPR-RI lakukan yang kemudian tertangkap
kamera oleh wartawan sedang menonton video porno adalah seorang penjahat karena
telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan
yang dipaparkan oleh penulis diatas .
Mengenai tipe penjahat sesuai dengan penggologan penjahat
diatas, penulis menyimpulkan bahwa anggota dewan tersebut termasuk golongan
penjahat :
a. The white
color crime
Ialah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berstatus
sosial tinggi atau orang yang mempunyai martabat dan kewenagan yang tinggi .
Sebagai
seorang anggota DPR-RI, orang tersebut telah memenuhi pengertian dari golongan
penjahat di atas walaupun golongan kejahatan diatas lebih sering dikaitkan
dengan tindak korupsi tetapi kejahatan yang telah dilakukan oleh orang di atas
dilakukan dalam kapasitasnya sebagai seorang legislator.
b. The
habitual crime
ialah kejahatan yang pada awalnya adalah suatu kebiasaan
yang pada akhirnya menjadi suatu kejahatan.
Mungkin pada awalnya anggota DPR-RI yang melakukan tindakan
tidak terpuji di atas telah biasa menonton video porno sebagai suatu kebiasaan
dalam kapasitas untuk kesenangan pribadi tetapi kebiasaan tersebut menjadi
suatu tindak kejahatan karena kebiasaan tersebut dilakukan dalam kapasitasnya
sebagai wakil rakyat dan dilakukan dalam proses rapat paripurna di DPR.
Walaupun penulis tidak dapat membuktikan bahwa tindakan
tersebut adalah suatu kebiasaan tapi kita melihat masalah ini dalam tataran
ilmu kriminologi.
3.3.
Peraturan yang Dilanggar Oleh Anggota
DPR-RI Karena Perbuatannya.
Berita
mengejutkan yang datang dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat,
pada saat Sidang Paripurna DPR hari Jum’at, 8 April 2011 itu, sedang asik
memilih-milih dan menonton video porno yang ditangkap oleh kamera M. Irfan
wartawan Media Indonesia.
Bapak Tifatul
Sembiring seperti diberitakan VIVANews.com mengatakan : “Kalau secara hukum
berdasarkan UU ITE, pihak yang bersalah adalah orang yang mendistribusikan atau
mentransmisikan konten porno. Sementara orang yang mengunduh konten terkait
tidak.”
Ini menimbulkan berbagai
pertanyaan. Bila mengunduh konten porno tidak bersalah, mengapa harus memblokir
situs-situs porno? Berdasarkan atas apa pemblokiran situs porno besar-besaran
yang digaungkan oleh Bapak Tifatul Sembiring? Bagaimana dengan Undang-undang
Pornografi tidak bisa menjeratnya?
Dalam kaitan peraturan yang telah dilanggar sendiri oleh
pembuatnya dalam kasus video porno anggota DPR-RI tersebut dapat dikenakan
pidana yakni undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi yang berbunyi
:
ð Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan
atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
ð Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
(Pasal 4 ayat (1) berisi: Setiap
orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: a.
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c.
masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan; atau e. alat kelamin.)

Lalu ketentuan pidana bagi
pelanggar Pasal 5 dan Pasal 6 tercantum dalam Pasal 32 dan Pasal 33 UU
Pornografi, yaitu :
ð Pasal 31.
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
ð Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dengan
demikian Anggota DPR-RI tersebut bisa dijerat dengan UU Pornografi, bukan hanya
sanksi karena pelanggaran kode etik, akan tetapi ia harus mengundurkan diri,
dan kemudian kasus ditutup.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha
dalam memahami dan mengungkapkan berbagai permasalahan tentang kejahatan dan
penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi
landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam
menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Dalam menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil
yang maksimal akan dicapai apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang
akan digunakan. Penentuan perspektif ini kemudian memberikan patokan kepada
kita dalam usaha penelusuran dan pencarian kebenaran terhadap realita yang ada
di dalam masyarakat (kejahatan dan penyimpangan yang merupakan satu gejala
sosial masyarakat). Karena itu dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan
menuntun ke arah fokus perhatian suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat
dikaji secara mendalam.
4.2.
Saran
Dari uraian diatas penulis ingin
memberikan saran kepada segenap lapisan masyarakat untuk melekukan social
control terhadap setiap penyimpangan yang terjadi di masyarakat baik yang bersifat
susila maupun kriminalitas karena dengan adanya pengawasan dari masyarakat,
kita berharap nantinya dapat berkuranglah kejahatan di masyrakat .
DAFTAR PUSTAKA
-
Bonger,W.A. Pengantar tentang kriminologi, PT
Pembanguan. Jakarta. 1995.
-
Santoso,Topo & Eva Achjani Zulfa SH. kriminologi, PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001.
-
Monograf Kriminologi.
-
Undang – undang nomor 44 tahun 2008
-
Undang – undang nomor 11 tahun 2008
-
http://hukum.kompasiana.com/2011/04/11/bisakah-uu-pornografi-menjerat-arifinto-anggota-dpr/
0 comments:
Post a Comment