Dalam dunia cinta, istilah selingkuh tak pernah terlepas di dalamnya. Salah satu sisi negatif dalam hubungan antara dua insan ini seringkali menjadi pemicu masalah yang bisa berbuntut ke arah perpisahan. Tapi seringkali terlintas satu pertanyaan, bagaimana sebuah tindakan disebut sebagai selingkuh? Secara umum bisa dikatakan, selingkuh sudah mulai terjadi, ketika kita sudah terpikat dengan orang lain yang bukan pasangan kita dan sudah melakukan hal-hal untuk bisa semakin dekat dengannya. Lalu bagaimana jika teman curhat kita kadang membuat pasangan cemburu? Apakah kedekatan itu bisa dimasukkan perselingkuhan? Sebenarnya untuk curhat lebih bukan ke urusan terpikat tapi karena biasanya rasa percaya dan nyaman yang membuat kita bisa mengeluarkan unek-unek kita. Sementara 'terpikat' adalah menyukai seseorang, bukan saja hanya sebatas curhat namun mulai menyukai hal lain yang ada dalam diri seseorang. Tertarik dengan tampangnya, tertarik dengan suaranya dan tertarik dengan sikapnya. Selingkuh Lagi ... Selingkuh juga bisa dikatakan mulai terjadi ketika ada seseorang yang lain mengambil peran dari pacar kita yang resmi. Berbagai hal yang seharusnya dilakukan bersama kekasih tiba-tiba saja beralih ke seseorang yang lain, apalagi jika mulai memikirkan seseorang yang memang bukan pasangan kita. Curhat pun bisa menjadi salah satu tindakan selingkuh ketika kita mulai enggan bahkan tidak pernah bercerita dan curhat hal apapun tentang diri kita pada pacar. Suatu hal yang seharusnya bisa kita curhatkan ke pacar kita, tapi kita lebih memilih ke orang lain. Menjadikan pacar kita menjadi pihak yang tidak tahu apa-apa tentang kita dibandingkan dengan orang yang lain. Disinilah selingkuh mulai terjadi, yaitu saat kita membiarkan bahkan dengan senang hati seseorang yang lain mengambil segala peran dan posisi pasangan resmi kita. Sampai manakah tahap perselingkuhan Anda?

Bagikan Ke
Thursday, December 22, 2011
Monday, December 19, 2011
Posts by : Admin
Wakaf
PENGERTIAN WAKAF
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Alloh melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Alloh Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. al-Baqarah [2].261-262)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Ra; ia berkata, ‘Umar Ra berkata kepada Nabi SAW “Saya mempunyai seratus saham (tanah atau kebun) di Khoibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.”. Maka Nabi SAW berkata:
الوقف : لغة : الحبس
شرعا : يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف فى رقبته على مصرف مباح وجهة .
شرعا : حبس مال معين قابل للنقل يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه وقطع التصرف فيه على أن يصرف فى جهة خير تقربا إلى الله تعالى.
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
- Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
- Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
- Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
-
|
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
2. RUKUN WAKAF
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
3. SYARAT-SYARAT WAKAF
1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
|
4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
4. LANDASAN HUKUM WAKAF
Firman Alloh SWT:
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sehagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Alloh mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran [3]:92)
|
Di antara yang termasuk kategori harta yang dinafkahkan yang dinilai sebagai kebajikan dan akan mendapatkan ganjaran pahala kebaikan yang berlipat ganda adalah dalam bentuk wakaf.
Sabda Rosululloh SAW:
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh Ra bahwa Rosululloh SAW bersabda:
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu dari (1) sedekah (donasi) jariyah (termasuk wakaf); (2) ilmu yang dimanfaatkan; atau (3) anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Ra bahwa ‘Umar bin al-Khoththob Ra memperoleh tanah (kebun) di Khoibar; lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia herkata, “Wahai Rosululloh, saya memperoleh tanah di Khoibar yang belum pernah saya memperoleh harta yang lebih haik bagiku melebihi tanah tersebut; maka apa perintahmu (kepadaku) mengenainya?”. Nabi SAW menjawab:
“Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya (yaitu dengan diwakafkan).”
Ibnu ‘Umar berkata, “Kemudian ‘Umar pun menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada faqir-miskin, kerabat, riqab (hamba sahaya orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu musafir. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan diri (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta miliknya.” (HR. al-Bukhori, Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)
|
“Tahanlah pokoknya dan donasikan buah atau hasil panennya di jalan Alloh (yaitu wakafkanlah!).” (HR. an-Nasa’i)
Amalan para Sahabat:
Jabir Ra berkata:
“Tidak ada seorang Sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan (untuk berwakaf) kecuali berwakaf.”
Posts by : Admin
Hukum Acara Peradilan Agama
A. Susunan Badan Peradilan Agama Tingakat Pertama dan Banding
a. Susunan Badan Peradilan Tingakat Pertama
Susunan Peradilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panetera, sekretaris dan juru sita(pasal 9 ayat (1) bab II UU no. 50 th 2009 perubahan ke-2 UU no. 7 th 1989)
1). Jabatan Struktural
- Ketua Peradilan (UU no.50 th 2009, Bab II pasal 14 s/d 25)
- Wakil Ketua Peradilan (UU no.50 th 2009, Bab II pasal 14 s/d 25)
- Sekretaris dan Wakil Sekretaris (UU no.50 th 2009, Bab II pasal 43 s/d 48).
2). Jabatan Fungsional
- Hakim Anggota (UU no.50 th 2009, Bab II pasal 13 s/d 25)
- Panetra, wakil panetra, panetra pengganti dan panetra muda (UU no.50 th 2009, Bab II pasal 26 s/d 37)
- Juru sita dan Juru sita pengganti (UU no. 50 th 2009 bab II pasal 38 s/d 42).
b. Susunan Badan Peradilan Tingakat Banding
Susunan Peradilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panetera dan sekretaris 9 ayat (2) bab II UU no. 50 th 2009)
1). Jabatan Struktural
- Ketua Peradilan ( UU no.50 th 2009 bab II pasal 14 s/d 25)
- Wakil Ketua Peradilan ( UU no.50 th 2009 bab II pasal 14 s/d 25)
- Sekretaris dan Wakil Sekretaris (UU no. 50 th 2009 bab II pasal 43 s/d 48)
2). Jabatan Fungsional
- Hakim Tinggi (UU no.50 th 2009 bab II pasal 14 s/d 25)
- Panetra, Wakil Panetra, Panitera Pengganti dan Panitera Muda (UU no.50 th 2009 bab II pasal 26 s/d37)
B. Tugas Pokok Pengadilan Agama
Pengadilan Agama Pasuruan yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama Pasuruan mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Memberikan pelaksanaan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi;
2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi lainnya;
3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsure dilingkungan Pengadilan Agama (Umum, Kepegawaian dan Keuangan kecuali biaya perkara)
4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya serta memberikan keterangan isbat kesaksian rukyatul hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah, sebagaimana diatur dalam pasal 52 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 52A UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 107 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
6. Waarmerking Akta Keahliwarisan dibawah tangan untuk pengambilan deposito/tabungan, pensiunan dan sebaginya;
7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum,memberikan pertimbangan hukum agama, pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap advokad/penasehat hukum dan sebagainya.
C. Pengertian Gugatan Dan Permohonan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang sesungguhnya dan produk hokum yang dihasilkan adalah putusan hokum.
Perbedaan Perkara voluntair Dan Contentieus
Sebelum saya membahas apa itu perkara voluntair dan contentious saya akan menjelaskan apa itu yang disebut voluntair dan contentious.
Voluntair juga disebut juga dengan permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada ketua pengadilan. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini diantaranya:
1. Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak
1. Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak
2. Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa
3. Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan
Sedangkan contentious adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari contentieus ini diantaranya:
1. Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat
2. Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara para pihak.
Perbedaan Antara Voluntair dan Contentieus
1. Contentieus
a. Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat
b. Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan untuk diputuskan.
c. Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukan undang-undang dan tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.
d. Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikat kepada para pihak yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau didengarkan keterangannya.
2. Voluntair
a. Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.
b. Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimihinkan oleh pihak yang bermohon karena hanya bersifat administrative.
c. Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu hal.
d. Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.
Setelah kita membicarakan perbedaan antara voluntair dan contetieus maka selanjutnya saya akan menjelaskan tatacara bagaimana mengajukan gugatan atau permohonan. Tahapan –tahapan tersebut yaitu:
a) Tahap Persiapan Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
=> Pihak yang berpekara: Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
=> Kuasa: Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan.
D. Kewenangan Pengadilan
Kewenangan relative dan kewenangan absolut harus diperhatikan sebelum membuat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.
b) Tahap pembuatan permohonan atau gugatan.
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani olehketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR.
Membuat permohonan pada dasarnya
• Identitas pemohon
• Uraian kejadian
• Permohonan
Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut :
Mengenai isi gugatan atau permohonan UU. NO 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau RBg tidak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 NO. 3 RV yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat tiga hal yaitu:
- Identitas para pihak => Meliputi nama, umur, pekerjaan, agama, kewarganegaraan.
- Posita => Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hokum yang menjadi dasar gugtan.
- Petitium => Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan atau penetapan para kepada para pih.ak terutama pihak tergughat dalam putusan perkara
c) Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan
Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama yang berwenang memeriksa dengan membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan sidang.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan kepada ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan ya g disebut penetapan majelis hokum (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera siding. Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera siding sendiri.
d) Tahap pemeriksaan permohonan atau gugatan.
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atai kedua belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila :
Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur. Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
§ Apabila terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir,
§ Pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
§ Penggugat dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam pemeriksaan perkara pengadilan akan disampaikan dalam ilustrasi berikut ini :
• Apabila penggugat dan tergugat hadir maka mula-mula majelis hakim memasuki ruang persidangan diikuti panitera sidang. Majelis memanggil para pihak untuk masuk ke persidangan dan ketua membuka persidangan dengan menyatakan “sidang dibuka dan terbuka untuk umum (apabila sidang terbuka untuk umum) dan jika sidang dibuka dan tertutup untuk umum (apabila sidang terbuka itu tertutup untuk umum).
• Hakim menanyakan identitas para pihak baik pihak penggugat atau tergugat.
• Hakim mengupayakan perdamaian pada para pihak dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai dan menetapkan hari sidang berikutnya tanpa dipanggil.
• Apabila kedua belah pihak berdamai, maka dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya samutusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan esekusi.
• Apabila tidak tercapai perdamaian maka dinyatakan kepada penggugat ada perubahan gugatan atau tidak, kalau ada maka persidangan ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau perbaikan gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir dalam sidang berikutnya untuk hadir tanpa di panggil.
• Apabila tidak ada perubahan atau sudah ada perubahan gugatan, maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan. Setelah pembacaan gugatan hakim memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan pertanyaan, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada tergugat menyususn jawaban dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa pengadilan.
• Dalam sidang selanjutnya jawaban dibacakan dan penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan replik, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat menyusun replik dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
• Sidang selanjtnya replik dibacakan tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan duplik, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menyususn duplik dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan utuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
• Sidang selanjutnya duplik dibacakan kemudian pihak penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, kemudian sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada penggugat menyampaikan bukti-bukti dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
• Sidang selanjutnya setelah penggugat mengajukan bukti-bukti tergugat di beri kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil-dalil sanggahannya, kemudian sidang ditunda untuk memebri kesempatan kepada tergugatuntuk pembuktian.
• Sidang selanjutnya setelah pembuktian tergugat selesai kemudian sidang ditunda untiuk memberi kesempatan kepada penggugat dan tergugat menyususn kesimpulan.
• Sidang selanjutnya penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, kemudian sidang ditunda untuk musyawarah hakim untuk menjatuhkan putusan.
• Dalam sidang selanjutnya, putusan dibacakan oleh ketua majelis hakim dan kepada pihak yang tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding.
E. Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran perkara yang di kemukakan.
Membuktikan adalah meyakinkan kepada hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang di kemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanya di perlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.
Beban pembuktian
- Pasal 163 HIR/283 RBG mengatakan, setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu kewajiban untuk membuktikasn adanya hak atau peristiwa tersebut.
Hal-hal yang perlu di buktikan
- Yang perlu di buktikan oleh pihak-pihak berperkara bukanlah hukumnya, melainkan pristiwanya atau kejadianya. Mengenai hukumnya tidak perlu di buktikan, karena hakim di anggap telah mengetahui hukum yang akan di terapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup di tengah masyarakat.
- Peristiwa-peristiwa yang di kemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan putusannya. Oleh karena itu hakim harus melakukan pengkajian tehadap peristiwa-peristiwa tersebut., kemudian memisahkan mana peristiwa yang penting dan mana peristiwa yang tidak penting. Peristiwa yang penting itulah ynag harus di buktikan. Sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu di buktikan. Misalkan dalam perkara utang piutang, maka tidaklah relevan lagi bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh penggugat dan tergugat ada waktu melaksanakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevan ialah apakah antara pengugat dan tergugat pada wktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.
- Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana, dimana seorang tidak bias di persalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila di sertai dengan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terakwa, dalam hukum acara perdata, untuk nenenangkan seseorang tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adnya alat-alat bukti yang sah, berdasarkan alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang salah. Dalam perkataan lain dalam hukum acara perdata, cukup dangan kebenaran formal saja. Pasal 162 HIR berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok yang berikut ini, ketentuan dalam pasal tersebut di atas merupakan perintah kepada hakim untuk dalam hukum pembuktian harus berpokok pangkal kepda peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR yaitu pasal 163 dan seterusnya.
Hal-hal yang tidak perlu di buktikan
- Dalam acara pembuktian di muka siding pengadilan, tidak semua hal perlu di buktikan, melainkan ada hal-hal yang tidak perlu di buktikan, diantaranya ialah :
- segala sesuatu yang di ajukan oleh salah satu pihak dan pihak lawan mengakuinya.
- Segala sesuatu yang di lihat sendiri oleh hakim di depan siding pengadilan.
- Segala sesuatu yang tellah di anggap di ketahiui oleh umum (notoirfeirten)
Alat-alat bukti
Alat-alat bukti menurut pasal 284 RBG/164 HIR/1866 KUHperdata adalah sebagai berikut :
- surat
- saksi
- persangkaan
- pengakuan
- sumpah
Sedangkan yang di maksud barang bukti ialah segala sesuatu yang di perlukan di persidangan untuk dapat di ketahui faktanya.
F. Putusan Hakim
Arti putusan hakim atau putusan pengadilan
Putusan hakim ialah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang di beri wewenang untuk itu, di ucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak. Bukan hanya yang di ucapkan saja yang menjadi putusan, melainkan juga pernyataan yang di tuangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian di ucapkan oleh hakim di persidangan.
Putusan pengadilan ialah pernyataan hakim yang di ucapkan di siding pengadilan yang di buka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.
Setiap putusan pengadilan yang tertuang dalam bentuk tertulis yang harus di tanda tangani oleh hakim ketua siding dan hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang (pasal 23 ayat 2 UU No. 14/1970).
Bentuk penyelesaian perkara di pengadilan di bedakan atas dua, yaitu :
- Putusan atau vonis.
- Penetapan atau beschiking.
Suatu putusan di ambil untuk memutusi suatu perselisihan atau sengketa (perkara), sedangkan suatu penetapan di ambil berhubungan dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yang di namakan yurisdiksi voluntair (misalnya pengangkatan wali).
Susunan atau isi putusan
Dalam wujud atau bentuknya suatu putusan hakim terdiri dari “kepala” (judul), pertimbangan dan “amar” atau “dictum” (R. subekti 1982: 168).
Susunan putusan hakim terdiri dari empat bagian yaitu :
- kepala putusan
- identitas para pihak
- pertimbangan
- amar
1). Kepala putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian ataa putusan yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” (pasal 4(1) UU No. 14/1970). Kepala putusan ini akan memberi kekuatan eksekutorial pada putusan. Apabila kepala putusan ini tidak di bubuhkan pada suatu pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2). Identitas para pihak
Dalam identitas para pihak, kedua belah pihak harus mencantumkan data diri seperti : nama, alamat, pekerjaan, dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan kepada orang lain.
3). Pertimbangan atau alasan-alasan
Pertimbangan atau alas an-alasan hakim terdiri dari dua bagian, yaitu :
- pertimbangan tentang duduknya
- perimbangan tentang hukumnya
Dalam pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No. 14/1970 menentukan, bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringaksan gugatan dan jawaban dengan jelas, alas an dan dasar putusan, pasal-pasal serta hokum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan pengadilan di ucapkan.
Putusan pengadilan yang tidak cukup pertimbangannya dan pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut harus di batalkan.
4). Amar atau dictum putusan
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembicaraan isi gugatan, salah satunya ialah pentitum yaitu apa yang di minta atau yang di tuntut supaya di utuskan oleh hakim. Putusan hakim adalah menjawab permintaan atau tuntutan ini, apakah mengabulkan atau menolak gugatan tersebut. Dalam amar ini di muat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang di sebut hukuman yang berupaya pembebanan suatu prestasi tertentu. Yang paling penting dalam amar atau dictum ini adalah tentang pokok perkara, yaitu menjadi pokok perselisihan. Dalam dictum ini di tetapkan siapa yang berhak atau siapa yan benar atas pokok perselisihan itu.
Macam-macam putusan hakim
Pasal 185 HIR/196 RBG menentukan, putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus di ucapkan di dalam persidangan juga, tidak di buat secara terpisah, melainkan hanya di tuliskan dalam persidangan berita saja. Kedua belah pihak dapat meminta supaya kepada mereka di beri salin an yang sah dari putusan itu dengan ongkos sendiri. Selanjutnnya pasal 190 (1) HIR/201 (1) RBG menentukan, bahwa putusan sela hanya dapat di mintakan banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir.
Dari ketentuan tersebut, maka dapat di bedakan putusan pengadilan atas dua macam, yaitu :
- Putusan sela (tussen vonnis)
- Putusan akhir (eind vonnis)
1). Putusan sela ialah putusan yang di jatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalkan tergugat mengajukan suatu tangkisan (eksepsi) yang bertujuan agar hakim menyatakan dirinya tidak berkompetensi memeriksa perkara tersebut adalah wewenang pengadilan lain. Dalam hukum acara di kenal beberapa macam putusan sela, yaitu :
- Putusan preparatoir Yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir. Contoh, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
2. Putusan interlocutoir yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Contoh, putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setmpat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interluctoir akan mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan incidentiel yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa menghentikan prosedur pengadilan biasa. Contoh, putusan yang membolehkan pihak ketiga untuk ikut serta dalam suatu perkara.
4. Putusan provisional yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar di adakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir di di jatuhkan. Contoh, dalam perceraian sebelum pokok perkara di putuskan, istri minta di bebaskan dari kewajiban untuk tinggal bersama suaminya, karena suaminya suka menganiaya. Contoh lain, dalam hal atap rumah yang di sewaoleh penggugat di rusak oleh tergugat sedangkan pada waktu itu musim hujan sehingga tergugat harus segera di hukum untuk memperbaiki atap tersebut.
2). Putusan akhir ialah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat tinggi, dan mahkamah agung.
Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat di bedakan atas tiga macam, yaitu :
- Putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang di kalahkan untuk memenuhi prestasi. Contoh, mengadili: menhukum kepada tergugat untuk menyerahkan sejumlah uang kepada penggugat.
2. Putusan declaratoir yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu kedaaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum. Contoh, menyatakan penggugat sebagai pemilik atas tanah yang menjadi sengketa.
3. Putusan konstitutif yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru. Contoh, menyatakan ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat di putus karena perceraian.
Dari ketiga macam putusan akhir di atas, maka putusan yang memerlukan pelaksanaan (eksekusi) hanyalah yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan uang bersifat konsumtif dan declaratoir tidak memerlukan pelaksanaan/ tidak memerlukan perbuatan dari salah satu pihak dalam upaya paksa, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan pihak yang kalah untuk melaksanakannya.
Kekuatan putusan hakim
HIR/RBG sama sekali tidak memuat tentang ketentuan tentang kekuatan putusan hakim, kecuali dalam pasal 180 HIR/191 RBG hanya menyebutkan adnya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap. Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga men yebutkan kekuatan sauatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak. Juga dalam pasal 21 UU No.14/1970 ada di sebutkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Sedangkan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah keputusan yang menurut ketentuan perundang-undangan masih terbuka kesempatan un tuk mempergunakan upaya hukum melawan putusan itu, misalnya perlawanan (verzeet), banding atau kasasi.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam perkara perdata mempunyai tiga macam kekuatan, yaitu :
- Kekuatan pembuktian mengikat yaitu putusan hakim itu sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut pengertian undang-undang, sahingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang di sebutkan dalam putusan itu.
2. Kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dapat di paksakan dangan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menantinya dengan suka rela.
3. Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan) yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yang sudah pernah di putus atau mengenai hal-hal yang sama, berdasarkan asas neb is in idem (tidak boleh di jatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama).
Putusan hakim yang dapat di laksanakan lebih dulu
Menurut hukum acara pada dasarnya putusan pengadilan hanya dapat di laksanakan apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Namun demikian dalam HIR/RBG terdapat ketentuan yang dapat memungkinkan putusan dapat di laksanakan lebih dulu (uit voerbaar bij vooraad).
Pasal 180 (1) HIR/191 (1) RBG menentukan, pengadilan negeri dapat memrintahkan supaya putusan dapat di jalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan, atau banding, jika :
- Ada surat yang sah (akta otentik) atau tulisan di bawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
- Ada putusan pengadilan sebelumya yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
- Di kabulkannya gugatan yang di dahulukan (gugatan provisional) dalam hal sengketa tentang hak milik.
Tetapi tentang menjalankan lebih dahulu putusan itu sama sekali tidak dapat menyebabkan orang untuk di sandera. (pasal- 13 - 180(2) HIR/191(2) RBG).
Subscribe to:
Posts (Atom)