Lebih dari seminggu yang lalu, sebelum balik ke Batam, setelah mendapat banyak
pelajaran di Yogyakarta, saya sempatkan untuk balik ke kampong halaman saya di
Semarang, walau cuma untuk 34 jam saja. Tetapi ada yang berarti di situ.
Bertemu orang yang sangat kuhormati, bapakku, yang selama ini beliau adalah guruku dalam tuntunan hidup.
Sudah lama kami tidak berbincang berdua sampai ber jam -jam seperti dulu, waktu aku belum berkeluarga. Berbincang apa saja, dari sepak bola sampai politik.
Memang semenjak berkeluarga, bapak lebih sering membincangkan masalah Sekar,
putriku, tentang cara membesarkan anak, yang itu buat kami berdua, saya dan istri, adalah hal yang wajar bagi seorang kakek terhadap cucunya. Walau kadang terkesan menggurui, tapi kami berdua menerimanya dengan ikhlas, sebagai pelajaran hidup bagaiman anak seharusnya di didik.
Karena kebetulan sendiri, istri dan putriku tidak ikut, kami lebih punya kesempatan untuk ngobrol apa saja.
Malam pertama datang, kami masih asyik nonton piala dunia di televisi, sambil
berbincang soal Yogyakarta, dan tentunya PSIS Semarang, team sepak bola yang bias membuat kami tertawa dan menangis. Di selingi bakmi jawa keliling di kampong kami, perbincangan memang asyik, sampai aku beranjak tidur setelah acara pertandingan piala dunia berakhir.
Pagi harinya, bapak mengajak aku belanja ke pasar, naik Honda 70 kebanggaanku waktu kuliah, masih terawat baik, beliau membelikan makanan laut kesukaanku, walau aku tahu beliau tidak akan makan itu, Karena alasan kesehatan. Seperti biasa duitku di tolak ketika aku akan membayar semua belanjaan yang ada.
Pulang dari pasar mampir kami ke kios bunga untuk membeli bunga mawar untuk ziarah, penjual yang sama belasan tahun lalu. Bapak menyempatkan berbincang - bincang dengan penjual bunga, membiarkan aku mengawasi keramaian pasar.
Kami tidak langsung ke makam almarhumah ibu, karena biasanya kesana sore hari.
Sesampai di rumah, kami olah belanjaan yang ada, tanpa boleh di bantu oleh yang
lain, bapak memasak sendiri semuanya, katanya special buat aku, anak yang jarang ketemu.
Masakannya masih enak, dan aku ingat ketika ibu cerita sama kami, bahwa ibu belajar masak dari bapak. Sebagai anak seorang berada dengan beberapa pembantu, ibu tidak perlu repot - repot untuk memasak, lain dengan bapak, yang umur belasan tahun, sejak kelas 1 SMP, sudah yatim piatu, dan ikut orang lain, belajar mandiri dari kecil.
Selesai makan, istriku telpon, yang kemudian kuberikan ke bapak, karena sekar
putriku ingin ngomong sama kakungnya, setengah jam mereka berdua bercanda lewat
telepon, seperti biasanya.
Selesai telpon, kulihat bapak terdiam di kursi, kemudian dengan menahan tangis,
beliau memandang foto ibu didinding, foto ibu yang tak pernah tua, beliau selau
muda.
"Bapakmu ini curang, dulu sengsara berdua sama ibumu, giliran senang malah sendiri, ibumu pasti senang kalau lihat cucu - cucunya yang pintar & lucu," beliau berkata dengan mata sudah memerah. "Tapi ibumu lebih curang lagi, dia tidak pernah kesepian, sementara aku, selalu merasa kesepian, kapan bisa ketemu lagi sama ibumu". Aku semakin diam, dan tanpa sadar kelopak mataku mulai berair.
Bapakku tahu kami semua sayang sama ibu, tapi kami juga merasa itu juga karena bapak.
Waktu kelas 5 SD, diajak bapak, melintasi padang rumput dan hutan kecil yang sepi di bawah kaki gunung ungaran, berjalan kaki menuju satu desa yang berhawa sejuk. Perjalanannya sangat melelahkan, 4 jam, tanpa ketemu orang. Pak lurah menyabut kami dengan "mewahnya" sampai aku ingin menghabiskan semua, sampai bapak mengingatkan bahwa kita harus berjalan pulang dengan jalan yang sama.
Sampai di tempat kami menitipkan kendaraan, bapak mengajakku istirahat sejenak
sambil menikmati keindahan gunung ungaran.
"bapak yakin kamu lelah, tapi tahu ngga ibumu sering melewati jalan itu sendiri, bahkan sampai menjelang malam, hanya untuk memberi penyuluhan kesehatan masyarkat di daerah terpencil, makanya orang desa tadi sayang sama kamu, karena mereka saying sama ibumu"
Aku tertegun mendengar itu, dan dari situlah kebiasaanku memijit kaki ibu sepulang kerja.
Pernah dalam satu kesempatan, bapak berkata," aku ini ibaratnya peceran (selokan) yang tiba - tiba kejatuhan berlian yang bersinar terang, sehingga semuanya menjadi bersih, wangi dan bercahaya. Aku orang paling beruntung sedunia ketika mendapatkan ibumu".
Perjuangan berat mendapatkan ibuku, karena beberapa konflik factor, menjadi
inspirasiku saat berusaha mendapatkan wanita yang kuyakini untuk diriku, istriku.
Tapi ibu juga pernah cerita sama kami," ibu ngga tahu, kalau ngga jadi sama bapakmu, siapa yang akan menuntun ibu untuk dewasa kalau bukan bapakmu. Bapakmu yang membuat ibu paham akan kehidupan".
Beliau berdua memang selalu memuji satu sama lain didepan anak-anaknya. Tiap sore kami semua bergurau dengan bapak dan ibu selalu saling meledek.
Karena aku lebih suka tidur di kursi depan, aku sering mendengar pembicaraan beliau tentang masa depan kami anak-anaknya, bagaimana menyiasati kebutuhan hidup, bahkan impian mereka berdua ketika tua nanti.
Tuhan berkehendak lain, di saat kami sudah mulai berkembang, ibu mendadak
meninggalkan kami, karena sakit.
Kami semua mencoba tegar, tapi seorang lelaki tegar yang kukenal, seorang yang
selalu bisa menjaga emosi dengan stabil, seperti kehilangan segala-galanya.
Bapak lebih banyak termenung dan menangis, sampai sakit-sakitan, itu berlangsung hampir selama 2 tahun. Tidak jarang beliau harus nginap di rumah sakit 2 hari, dan tiba-tiba sembuh sendiri.
Dokter yang menangani selalu heran, sampai mereka bertanya sama bapak.
"bapak kok cepat sekali sembuhnya, padahal kemarin sampai pingsan waktu masuk kesini".
Jawab bapak, " tadi pagi istri saya kan nyuapin saya sarapan sama menghibur saya, makanya saya sehat lagi". Dokter dan perawat yang kenal ibu, cuma bisa menangis terharu.
2 tahun kami lalui dengan berat, sampai suatu hari bapak minta makanan yang
sebelumnya beliau selalu hindari, dan semenjak itu kesehatan beliau mulai berangsur membaik untuk melakukan aktfitas sehari-hari. Kami penasaran sampai akhirnya di suatu kesempatan setelah itu bapak bercerita.
"ibumu nemuin bapak, dan mengajak bapak ketempat kediamannya, sebuah tempat yang indah yang bapak ingin ikut serta di dalamnya, tapi kata ibumu, nanti saja setelah TIGA PERKARA itu di selesaikan, bapak tahu ibumu tidak pernah ingkar janji". Beliau tersenyum bahagia saat bercerita, walau aku sendiri sampai sekarang Cuma menerka-nerka apa itu TIGA PERKARA.
Walau tiap malam masih kudengar tangis bapak dalam doa sholat malamnya, tapi dalam keseharian beliau selalu kelihatan tegar dalam kesepian membesarkan kami
anak-anaknya. Bapak dan ibu seperti memang diciptakan Tuhan dengan kehalusan
hatiNya, walau beda alam, masih ada hal aneh dalam hubungan mereka, seperti missal ketika Kakek, ayah ibu, meninggal, bapak tanpa sadar di pagi hari bicara sama dua adikku, "siap - siap kita pergi, ada yang meninggal hari ini". Tidak berapa lama ada kabar bahwa kakek kami meninggal. Bapak bilang "tadi waktu sholat subuh, ibumu yang memberi tahu".
Bapak lebih terbuka terhadap aku, bukan karena aku anak laki-laki satu-satunya, tapi karena lebih beliau bilang kamu adalah amanat, di saat ibumu menghadapi sakratul maut, namamu yang sering keluar dari mulut beliau, itu yang harus beliau jaga (walau aku belum bisa menjadi anak yang bisa membanggakan mereka...)
Aku tidak heran kalau bapak sayang sekali dengan Sekar putriku.
Tapi aku seperti ingin menangis, bertahun-tahun ternyata bapak menyimpan rahasia,
"aku tidak pernah bisa sejajar dengan ibumu, dia lebih dari aku dalam segala hal, aku hanyalah orang yang beruntung bisa bersamanya, walau sebentar, bahkan bersimpuh di kakinya aku sudah sangat bahagia", bapak memulai pembicaraan kami di depan makam ibu, sore harinya.
"jadi begitu ibumu meninggal, bapak langsung memesan makam tepat di bawah makam
ibumu, jadi aku bisa bersimpuh di kakinya selamanya, karena ibumu adalah
kebahagianku, kamu tahu sekarangkan."
Makam yang selama ini kupikir makam orang lain, adalah makam yang dipesan bapakku bertahun-tahun yang lalu, Cuma karena beliau ingin selalu bersimpuh di kaki wanita yang paling dia cintai di dunia ini, bukan di sampingnya, tapi di kakinya, betapa mulia ibuku di mata bapakku.
Aku sudah tidak bisa menangis lagi, rasa haru cuma menggumpal di dada, betapa
bahagianya mereka berdua....
Saat itu aku Cuma berpikir, aku ingin cepat balik ke Batam, di pelukan istriku
tercinta & Sekar putriku...
Walau cuma 34 jam, aku telah berguru pada Sang Guru Cinta....
"seorang lelaki, bukan seorang lelaki kalau dia tidak peduli pada istri dan
anaknya...".
pelajaran di Yogyakarta, saya sempatkan untuk balik ke kampong halaman saya di
Semarang, walau cuma untuk 34 jam saja. Tetapi ada yang berarti di situ.
Bertemu orang yang sangat kuhormati, bapakku, yang selama ini beliau adalah guruku dalam tuntunan hidup.
Sudah lama kami tidak berbincang berdua sampai ber jam -jam seperti dulu, waktu aku belum berkeluarga. Berbincang apa saja, dari sepak bola sampai politik.
Memang semenjak berkeluarga, bapak lebih sering membincangkan masalah Sekar,
putriku, tentang cara membesarkan anak, yang itu buat kami berdua, saya dan istri, adalah hal yang wajar bagi seorang kakek terhadap cucunya. Walau kadang terkesan menggurui, tapi kami berdua menerimanya dengan ikhlas, sebagai pelajaran hidup bagaiman anak seharusnya di didik.
Karena kebetulan sendiri, istri dan putriku tidak ikut, kami lebih punya kesempatan untuk ngobrol apa saja.
Malam pertama datang, kami masih asyik nonton piala dunia di televisi, sambil
berbincang soal Yogyakarta, dan tentunya PSIS Semarang, team sepak bola yang bias membuat kami tertawa dan menangis. Di selingi bakmi jawa keliling di kampong kami, perbincangan memang asyik, sampai aku beranjak tidur setelah acara pertandingan piala dunia berakhir.
Pagi harinya, bapak mengajak aku belanja ke pasar, naik Honda 70 kebanggaanku waktu kuliah, masih terawat baik, beliau membelikan makanan laut kesukaanku, walau aku tahu beliau tidak akan makan itu, Karena alasan kesehatan. Seperti biasa duitku di tolak ketika aku akan membayar semua belanjaan yang ada.
Pulang dari pasar mampir kami ke kios bunga untuk membeli bunga mawar untuk ziarah, penjual yang sama belasan tahun lalu. Bapak menyempatkan berbincang - bincang dengan penjual bunga, membiarkan aku mengawasi keramaian pasar.
Kami tidak langsung ke makam almarhumah ibu, karena biasanya kesana sore hari.
Sesampai di rumah, kami olah belanjaan yang ada, tanpa boleh di bantu oleh yang
lain, bapak memasak sendiri semuanya, katanya special buat aku, anak yang jarang ketemu.
Masakannya masih enak, dan aku ingat ketika ibu cerita sama kami, bahwa ibu belajar masak dari bapak. Sebagai anak seorang berada dengan beberapa pembantu, ibu tidak perlu repot - repot untuk memasak, lain dengan bapak, yang umur belasan tahun, sejak kelas 1 SMP, sudah yatim piatu, dan ikut orang lain, belajar mandiri dari kecil.
Selesai makan, istriku telpon, yang kemudian kuberikan ke bapak, karena sekar
putriku ingin ngomong sama kakungnya, setengah jam mereka berdua bercanda lewat
telepon, seperti biasanya.
Selesai telpon, kulihat bapak terdiam di kursi, kemudian dengan menahan tangis,
beliau memandang foto ibu didinding, foto ibu yang tak pernah tua, beliau selau
muda.
"Bapakmu ini curang, dulu sengsara berdua sama ibumu, giliran senang malah sendiri, ibumu pasti senang kalau lihat cucu - cucunya yang pintar & lucu," beliau berkata dengan mata sudah memerah. "Tapi ibumu lebih curang lagi, dia tidak pernah kesepian, sementara aku, selalu merasa kesepian, kapan bisa ketemu lagi sama ibumu". Aku semakin diam, dan tanpa sadar kelopak mataku mulai berair.
Bapakku tahu kami semua sayang sama ibu, tapi kami juga merasa itu juga karena bapak.
Waktu kelas 5 SD, diajak bapak, melintasi padang rumput dan hutan kecil yang sepi di bawah kaki gunung ungaran, berjalan kaki menuju satu desa yang berhawa sejuk. Perjalanannya sangat melelahkan, 4 jam, tanpa ketemu orang. Pak lurah menyabut kami dengan "mewahnya" sampai aku ingin menghabiskan semua, sampai bapak mengingatkan bahwa kita harus berjalan pulang dengan jalan yang sama.
Sampai di tempat kami menitipkan kendaraan, bapak mengajakku istirahat sejenak
sambil menikmati keindahan gunung ungaran.
"bapak yakin kamu lelah, tapi tahu ngga ibumu sering melewati jalan itu sendiri, bahkan sampai menjelang malam, hanya untuk memberi penyuluhan kesehatan masyarkat di daerah terpencil, makanya orang desa tadi sayang sama kamu, karena mereka saying sama ibumu"
Aku tertegun mendengar itu, dan dari situlah kebiasaanku memijit kaki ibu sepulang kerja.
Pernah dalam satu kesempatan, bapak berkata," aku ini ibaratnya peceran (selokan) yang tiba - tiba kejatuhan berlian yang bersinar terang, sehingga semuanya menjadi bersih, wangi dan bercahaya. Aku orang paling beruntung sedunia ketika mendapatkan ibumu".
Perjuangan berat mendapatkan ibuku, karena beberapa konflik factor, menjadi
inspirasiku saat berusaha mendapatkan wanita yang kuyakini untuk diriku, istriku.
Tapi ibu juga pernah cerita sama kami," ibu ngga tahu, kalau ngga jadi sama bapakmu, siapa yang akan menuntun ibu untuk dewasa kalau bukan bapakmu. Bapakmu yang membuat ibu paham akan kehidupan".
Beliau berdua memang selalu memuji satu sama lain didepan anak-anaknya. Tiap sore kami semua bergurau dengan bapak dan ibu selalu saling meledek.
Karena aku lebih suka tidur di kursi depan, aku sering mendengar pembicaraan beliau tentang masa depan kami anak-anaknya, bagaimana menyiasati kebutuhan hidup, bahkan impian mereka berdua ketika tua nanti.
Tuhan berkehendak lain, di saat kami sudah mulai berkembang, ibu mendadak
meninggalkan kami, karena sakit.
Kami semua mencoba tegar, tapi seorang lelaki tegar yang kukenal, seorang yang
selalu bisa menjaga emosi dengan stabil, seperti kehilangan segala-galanya.
Bapak lebih banyak termenung dan menangis, sampai sakit-sakitan, itu berlangsung hampir selama 2 tahun. Tidak jarang beliau harus nginap di rumah sakit 2 hari, dan tiba-tiba sembuh sendiri.
Dokter yang menangani selalu heran, sampai mereka bertanya sama bapak.
"bapak kok cepat sekali sembuhnya, padahal kemarin sampai pingsan waktu masuk kesini".
Jawab bapak, " tadi pagi istri saya kan nyuapin saya sarapan sama menghibur saya, makanya saya sehat lagi". Dokter dan perawat yang kenal ibu, cuma bisa menangis terharu.
2 tahun kami lalui dengan berat, sampai suatu hari bapak minta makanan yang
sebelumnya beliau selalu hindari, dan semenjak itu kesehatan beliau mulai berangsur membaik untuk melakukan aktfitas sehari-hari. Kami penasaran sampai akhirnya di suatu kesempatan setelah itu bapak bercerita.
"ibumu nemuin bapak, dan mengajak bapak ketempat kediamannya, sebuah tempat yang indah yang bapak ingin ikut serta di dalamnya, tapi kata ibumu, nanti saja setelah TIGA PERKARA itu di selesaikan, bapak tahu ibumu tidak pernah ingkar janji". Beliau tersenyum bahagia saat bercerita, walau aku sendiri sampai sekarang Cuma menerka-nerka apa itu TIGA PERKARA.
Walau tiap malam masih kudengar tangis bapak dalam doa sholat malamnya, tapi dalam keseharian beliau selalu kelihatan tegar dalam kesepian membesarkan kami
anak-anaknya. Bapak dan ibu seperti memang diciptakan Tuhan dengan kehalusan
hatiNya, walau beda alam, masih ada hal aneh dalam hubungan mereka, seperti missal ketika Kakek, ayah ibu, meninggal, bapak tanpa sadar di pagi hari bicara sama dua adikku, "siap - siap kita pergi, ada yang meninggal hari ini". Tidak berapa lama ada kabar bahwa kakek kami meninggal. Bapak bilang "tadi waktu sholat subuh, ibumu yang memberi tahu".
Bapak lebih terbuka terhadap aku, bukan karena aku anak laki-laki satu-satunya, tapi karena lebih beliau bilang kamu adalah amanat, di saat ibumu menghadapi sakratul maut, namamu yang sering keluar dari mulut beliau, itu yang harus beliau jaga (walau aku belum bisa menjadi anak yang bisa membanggakan mereka...)
Aku tidak heran kalau bapak sayang sekali dengan Sekar putriku.
Tapi aku seperti ingin menangis, bertahun-tahun ternyata bapak menyimpan rahasia,
"aku tidak pernah bisa sejajar dengan ibumu, dia lebih dari aku dalam segala hal, aku hanyalah orang yang beruntung bisa bersamanya, walau sebentar, bahkan bersimpuh di kakinya aku sudah sangat bahagia", bapak memulai pembicaraan kami di depan makam ibu, sore harinya.
"jadi begitu ibumu meninggal, bapak langsung memesan makam tepat di bawah makam
ibumu, jadi aku bisa bersimpuh di kakinya selamanya, karena ibumu adalah
kebahagianku, kamu tahu sekarangkan."
Makam yang selama ini kupikir makam orang lain, adalah makam yang dipesan bapakku bertahun-tahun yang lalu, Cuma karena beliau ingin selalu bersimpuh di kaki wanita yang paling dia cintai di dunia ini, bukan di sampingnya, tapi di kakinya, betapa mulia ibuku di mata bapakku.
Aku sudah tidak bisa menangis lagi, rasa haru cuma menggumpal di dada, betapa
bahagianya mereka berdua....
Saat itu aku Cuma berpikir, aku ingin cepat balik ke Batam, di pelukan istriku
tercinta & Sekar putriku...
Walau cuma 34 jam, aku telah berguru pada Sang Guru Cinta....
"seorang lelaki, bukan seorang lelaki kalau dia tidak peduli pada istri dan
anaknya...".
1 comments:
sayaaaang certanya sedih bangetih.... hope we were like the story
Post a Comment