Bagikan Ke

Tuesday, January 24, 2012

PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PENGADILAN BUKU II




II. PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI PERKARA DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA
A.     PENGADILAN AGAMA.
1.      PROSEDUR PENERIMAAN PERKARA PENGADILAN AGAMA.
a.      Meja Pertama.
a.1. Menerima gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, peninjauan kembali dan permohonan eksekusi.
a.2. Permohonan perlawanan yang merupakan verzet terhadap putusan verstek, tidak didaftar sebagai perkara baru.
a.3. permohonan perlawanan pihak ke III (darden verzet) didaftarkan sebagai perkara baru dalam gugatan.
a.4. menetapkan rencana biaya perkara yang dituangkan dalam SKUM.
a.5. hendaknya pemungutan biaya perkara, ditaksir dengan mempertimbangkan jarak dan kondisi tempat tinggal para pihak, dengan memerhatikan terselenggaranya proses persidangan perkara dengan lancar, yang berkaitan dengan keperluan pemanggilan para pihak, saksi dan pemberitahuan-pemberitahuan serta materai dan redaksi putusan.
a.6. Dalam perkara cerai talak,biaya perkara diperhitungkan juga untuk keperluan pemanggilan sidang ikrar talak.
a.7. Dalam memperhitungkan panjar biaya perkara, bagi Pengadilan tingkat pertama, agar mempertimbangkan pula biaya administrasi sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) yang dipertanggungjawabkan dalam putusan sebagai biaya administrasi, sedang untuk Pengadilan tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) yang dipertanggungjawabkan dalam putusan sebagai biaya administrasi.
a.8. Menyerahkan surat gugat, permohonan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali dan permohonan eksekusi, yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang bersangkutan, agar membayar uang panjar perkara yang tercantum dalam SKUM, kepada KAS Pengadilan Agama.

b.      Meja Kedua.
b.1. Mendaftar perkara yang masuk dalam buku register induk perkara sesuai dengan urutan penerimaan dari pemegang Kas, dan membubuhi nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut.
b.2. Pendaftaran perkara baru dapat dilaksanakan, setelah panjar biaya perkara dibayar pada Kas.
b.3. Pengisian nomor perkara, harus sama dengan penyebutan nomor perkara dalam buku jurnal.
b.4. Pengisian kolom-kolom buku register, harus dilaksanakan dengan tertib, cermat, dan lengkap, serta tepat waktu, berdasarkan jalannya persidangan perkara.
b.5. Berkas perkara yang diterima, hendaknya dilengkapi dengan formulir Penetapan Majlis Hakim, disampaikan kepada Wakil Panitera untuk diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
b.6. Bagi perkara yang sudah ditetapkan majlis Hakimnya, hendak diserahkan kepada Majelis Hakim yang ditunjuk, setelah dilengkapi dengan formulir Penetapan Hari Sidang, dan mencatat pembagian perkara tersebut dengan tertib.
b.7. Setiap penentuan tanggal sidang pertama, penundaan tanggal persidangan, beserta alasan penundaan, yang diterima dari Panitera Pengganti setelah proses persidangan, harus dicatat di dalam buku register secara tertib.
b.8. Pemegang buku register, harus mencatat dengan cermat dalam buku register yang terkait, semua kegiatan perkara, yang berkenaan dengan perkara banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

c.      Meja Ketiga.
c.1. Atas permintaan pihak-pihak berperkara menyiapkan dan menyerahkan salinan-salinan putusan Pengadilan.
c.2. Menerima :
(a) Memori Banding.
(b) kontra memori banding.
(c) memori kasasi
(d) kontra memori kasasi
(e) jawaban/tanggapan  atas alasan P.K.
c.3. Menetapkan urutan dan giliran jurusita atau para jurusita pengganti yang melaksanakan pekerjaan kejurusitaan.
c.4. Pelaksanaan tugas-tugas pada Meja Pertama, Meja Kedua, dan Meja Ketiga dilakukan oleh Sub Kepaniteraan perkara dan berada lagsung di bawah pengawasan-pengamatan Wakil Panitera.

Thursday, January 12, 2012

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM


uzie20@yahoo.co.id 
Bila kita kaji kepustakaan mengenai filsafat hukum, akan kita temukan berbagai defisi, perumusan, ataupun yang diutarakan oleh para penulisnya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 11). Misalnya, merumuskan filsafat hukum itu sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyeresaian antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan. Satjipto Rahardjo (1982 : 321) mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu. Gustav Rdbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hokum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) mengatakannya pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Beberapa penulis hukum seperti van Apaldoorn, E. Utrecht, dan Kusumadi Pudjosewodjo tidak mengetengahkan definisi atau perumusan, tetapi, mereka menjelaskan arti filsafat hukum dengan suatu uraian yang agak panjang. Uraian ketiga penulis tersebut dianggap penting, karena itu berturut-turut kan dikutip di bawah ini.
Van Apaldoorn (1975) menguraikan sebagai berikut: “Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum menjawabnya? Dapat, hanya, tak dapat memberikan jawaban yang serba memuaskan karena tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tak melihat “hukum”; hanya ia melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang tersembunyi didalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangannya.
Rumusan lain adalah dari E. Utrecht (1966). Ia mengetengahkan sebagai berikut: ‘Filsafat hukum member jawaban atas pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:adanya tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan:berlakunya hukum) Apakah keadilan menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan:keadilan) Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab ilmu hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagi suatu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka.
Uraian lainnya tentang filsafat hukum adalah dari Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan yang dikemukakan , karena sifatnya yang sangat mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Pertanyaan yang dikemukakan adalah: “Dan seekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan seperti: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan?. Dengan pertanyaan demikian, orang sudah melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagaimana arti lazimnya, dan menginjak lapangan “filsafat hukum” sebagian ilmu pengetahuan filsafat.
Uraian yang lengkap dikemukakan oleh L. Bender O.P. (1948) sebagai berikut: “Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari barbagai bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut etika. Objek dari bagian utama ini ialah tingkah laku manusoa, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan. Menurut keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat moral atau etika.

Jangan lupa Komentarnya

Subhanalloh

Download Content

Ensiklopedia Software Tips

scan QR code

QRCode