BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hakim
adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim
adalah mengkonstatir, mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang
harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus
dikwalifisir, pasal 5 ayat 1 UU. 14/1970 mewajibkan hakim mengadili menurut
hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Seorang
hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga walaupun itu
keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama.
Hakim
harus berpegang kepada Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat
membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang
bertugas menegakkan keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari
keluarga dan masyarakat.
Untuk
membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat
mengambil sikap. Zaman sekarang kadang-kadang hakim salah menempatkan sikapnya,
yang seharusnya sikap itu harus dilingkungan keluarga, ia bawa waktu
persidangan. Ini tentunya akan mempengaruhi putusan.
Masalah
kode etik inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini. Supaya
hakim-hakim agar lebih memperhatikan lagi tugasnya sebagai penegak keadilan di
dalam masyarakat.
B. BATASAN MASALAH
Supaya
pembahasan makalah ini tidak menyimpang, maka kami membatasi makalah ini dengan
:
1.
Pengertian hakim, tugas, dan tanggung jawabnya.
2. Kode
etik hakim dan hubungannya dengan Undang-undang
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk
memenuhi tugas berstruktut mata kuliah Etika Profesi Hukum yang diasuh oleh
Drs. Ahmadi Hasan M.Hum
2. Supaya
kita mengetahui kode etik seorang hakim
D.
METODE PENULISAN
Metode
penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan
mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan Kode kehormatan Hakim.
E.
SISTEMATIKA PENYAJIAN
Makalah
ini terdiri atas 3 BAB dan masing-masing Bab mempunyai sub-bab, yaitu :
1. Bab I
: Pendahuluan, yang berisi Latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan dan sistematika penyajian.
2. Bab II
: Pembahasan, yang terdiri atas Pengertian Hakim, kewajiban / tugas hakim,
tanggung jawab hakim, kode etik hakim, kode kehormatan hakim dengan
undang-undang, dan kekuasaan kehakiman.
3. Bab
III : Penutup yang terdiri dari kesimpulan.
4.
Lampiran UU No 35 tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman
5. Daftar
pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
"HAKIM"
A. PENGERTIAN HAKIM
Hakim
adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim
disebut juga kode kehormatan hakim. Hakim juga adalah
pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang syarat dan tata cara
pengangkatan, pemberhetian dan pelaksanaan tugasnya ditentukan oleh
undang-undang.
B. KEWAJIBAN / TUGAS HAKIM
Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan mempunyai kewajiban yaitu :
1.
Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dalam
masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai
hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tangah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan
demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
2. Hakim
wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan
dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
Sifat-sifat
yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam
mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan
pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal
dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan
orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
C. TANGGUNG JAWAB HAKIM
1.
Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa
Tanggung
jawab hakim kepada penguasa (negara) artinya telah melaksanakan peradilan
dengan baik, menghasilkan keputusan bermutu, dan berdampak positif bagi bangsa
dan negara.
a. Melaksanakan
peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang,
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat, dan kepatutan (equity).
b.
Keputusan bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan
nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, etika moral masyarakat, dan tidak melanggar hak orang lain.
c.
Berdampak positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim memberi manfaat
kepada masyarakat sebagai keputusan yang dapat dijadikan panutan dan
yurisprudensi serta masukan bagi pengembangan hukum nasional.
2.
Tanggung Jawab Kepada Tuhan
Tanggung
jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan peradilan
sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat
manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya.
D. KODE ETIK HAKIM
Untuk
jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan
notaris dan advokat.
Hakim
adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh karena itu
Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :
1. Etika
kedinasan pegawai negeri sipil
2. Etika
kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.
3. Etika
hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat.
Uraian Kode Etik Hakim
meliputi :
1. Etika
keperibadian hakim
2. Etika
melakukan tugas jabatan
3. Etika
pelayanan terhadap pencari keadilan
4. Etika
hubungan sesama rekan hakim
5. Etika
pengawasan terhadap hakim.
Dari
kelima macam uaraian kode etik ini akan kita lihat apakah Kode Etik Hakim
memiliki upaya paksaan yang berasal dari undang-undang.
1. Etika
keperibadian hakim
Sebagai pejabat penegak
hukum, hakim :
a.
Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Menjunjung
tinggi, citra, wibawa dan martabat hakim
c.
Berkelakuan baik dan tidak tercela
d.
Menjadi teladan bagi masyarakat
e.
Menjauhkan diri dari eprbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat
f. Tidak
melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim
g.
Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab
h.
Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu
i.
Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan)
j. Dapat
dipercaya
k.
Berpandangan luas
2. Etika
melakukan tugas jabatan
Sebagai pejabat penegak
hukum, hakim :
a.
Bersikap tegas, disiplin
b. Penuh
pengabdian pada pekerjaan
c. Bebas
dari pengaruh siapa pun juga
d. Tidak
menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang untuk kepentingan pribadai
atau golongan
e. Tidak berjiwa
mumpung
f. Tidak
menonjolkan kedudukan
g.
Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan
h.
Berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim
3. Etika
pelayanan terhadap pencari keadilan
Sebagai pejabat penegak
hukum, hakim :
a.
Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara
yang berlaku
b. Tidak
memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara
c.
Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak
membeda-bedakan orang
d. Sopan,
tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan
e.
Menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan
f.
Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
g.
Memutus berdasarkan hati nurani
h.
Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
4. Etika
hubungan sesama rekan hakim
Sebagai sesama rekan pejabat
penegak hukum, hakim :
a.
Memlihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesam rekan
b.
Memiliki rasa setia kawan , tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama
rekan
c.
Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim
d.
Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan , baik di dalam maupun di luar
kedinasan
e.
Bersikap tegas. Adil dan tidak memihak.
f.
Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim atasannya.
g.
Memberi contoh yang baik di dalam dan di luar kedinasan.
5. Etika
pengawasan terhadap hakim.
Di dalam
urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan
sanksi ini. Ini berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode
Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang. Pengawasan terhadap hakim
dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3)
Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum; Pembentukan, susunan, dan
tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman.
E.
KODE KEHORMATAN HAKIM DENGAN UNDANG-UNDANG
1.
Kode Kehormatan Hakim
& Tri
prasetya hakim Indonesia
Kode kehormatan
hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu ;
"Saya berjanji :
a. Bahwa
saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim Indonesia;
b. Bahwa
saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim Indonesia;
c. Bahwa
saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa
selalu membimbing saya di jalan yang benar."
& Perlambang
atau sifat hakim
a.
KARTIKA (= Bintang, yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa).
b. CAKRA
(= Senjata ampuh dari Dewa Keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan,
kezaliman dan ketidakadilan) berari adil.
c. CANDRA
(= Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam
kegelapan) berarti bijaksana dan berwibawa.
d. SARI
(= Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat) berarti budi
luhur atau berkelakuan tidak tercela.
e. TIRTA (= air, yang membersihkan segala
kotoran di dunia) mensyaratkan, bahwa seorang hakim harus jujur.
& Perincian
mengenai sifat hakim
a.
KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
b. CAKRA
= Adil
Dalam kedinasan
1) Adil
2) Tidak
berprasangka atau memihak
3) Bersungguh-sungguh
mencari kebenaran dan keadilan
4)
Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani
5)
Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan
Di luar kedinasan
1) Saling
harga menghargai
2) Tertib
dan lugas
3)
Berpandangan luas
4)
Mencari saling pengertian
c. CANDRA
= Bijaksana / Berwibawa
Dalam kedinasan
1)
Berkepribadian
2)
Bijaksana
3)
Berilmu
4) Sabar
dan Tegas
5)
Berdisiplin
6) Penuh
pengabdian pada pekerjaan
Di luar kedinasan
1) Dapat
dipercaya
2) Penuh
rasa tanggung jawab
3)
Menimbulkan rasa hormat
4) Anggun
dan berwibawa
d. SARI =
Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela
Dalam kedinasan
1)
Tawakal dan Sopan
2) Ingin
meningkatkan pengabdian dalam tugas
3)
Bersemangat ingin maju
4)
Tenggang rasa
Di luar kedinasan
1)
Berhati-hati dalam pergaulan hidup
2) Sopan
dan susila
3)
Menyenangkan dalam pergaulan
4)
Tenggang rasa'
5)
Berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya
e. TIRTA
= Jujur
Dalam kedinasan
1) Jujur
2)
Merdeka = tidak membeda-bedakan orang
3) Bebas
dari pengaruh siapa pun juga
4) Tabah
Di luar kedinasan
1) Tidak
boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan
2) Tidak
boleh berjiwa mumpung
2.
Hubungan Kode Kehormatan Hakim Dengan Undang-Undang
Jabatan
hakim diatur dengan undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum. Seorang yang menjabat hakim harus mematuhi undang-undang dan berpegang
pada Kode Kehormatan Hakim. Hubungan antara undang-undang dan Kode Kehormatan
Hakim terletak pada ketentuan Kode Kehormatan Hakim yang juga diatur dalam
undang-undang, sehingga sanksi pelanggaran undang-undang diberlakukan juga pada
pelanggaran Kode Kehormatan Hakim.
Apabila
menurut Majelis Kehormatan Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah
melakukan pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hakim yang
bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a.
Dipidana karena bersalah melakukan tindakan pidana kejahatan.
b.
Melakukan perbuatan tercela.
c. Terus
menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan.
d.
Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e.
Melanggar larangan pasal 18 (rangkap jabatan)
Pengusulan
pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan setelah hakim yang bersangkutan
diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
Menurut
penjelasan pasal tersebut:
a. Yang
dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
b. Yang
dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila
hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam
maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim.
c. Yang
dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang
dibebankan kepada hakim yang bersangkutan.
Berdasarkan
ketentuan tadi dapat disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga sanksi
Kode Kehormatan Hakim yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini,
Kode Kehormatan Hakim juga menganut prinsip penundukan pada undang-undang.
F.
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam pengertian di dalam
keuasaan kehakiman bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan
kebebasan dari paksaan, direktiva dan rekomendasi yang datang dari pihak extra
judiciil kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Kebebasan
dalam pelaksanaan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas
daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasil
dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang
jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya sehingga
keputusannya mencerminkan persaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan
Kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan Peradilan yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang.
Dalam hal
ini kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1.
Peradilan Umum
2.
Peradilan Agama
3.
Peradilan Militer
4.
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan
Agama, Militer dan Tata Usaha Negara adalah peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara
tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.
Sedangkan
Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara
perdata maupun pidana.
Mahkamah
Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional.
Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim.
Ø
Tugas hakim adalah :
1.
Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
2. Hakim
wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan
dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
Ø
Tanggung jawab hakim ada 2 yaitu :
1.
Tanggung jawab kepada penguasa
2.
Tanggung jawab kepada Tuhan
ÿ Kode
kehormatan hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu
:
"Saya berjanji :
a. Bahwa
saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim Indonesia;
b. Bahwa
saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim
Indonesia;
c. Bahwa
saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa
selalu membimbing saya di jalan yang benar."
ÿ
Perlambang sifat hakim yaitu : KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, CAKRA = Adil, CANDRA = Bijaksana / Berwibawa,
SARI = Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela, dan TIRTA = Jujur
Lampiran
UU NO 35 TAHUN 1999 TENTANG
"KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN"
Isi UU No 14 tahun 1970 yang disempurnakan
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Pasal 2
1.
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada
badan-Badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-Undang dengan tugas pokok
untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya.
2. Tugas
lain daripada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan
peraturan perundangan
Pasal 3
1. Semua
peradilan diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan
ditetapkan dengan undang-undang.
2.
Peradilan dilakukan dengan sederhana; cepat menegakkan hukum dan keadilan yang
berdasarkan Pancasila
Pasal 4
1.
Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
3. Segala
campur tangan dalam peradilan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan Kehakiman
di larang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar
Pasal 5
1.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2. Dalam
perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 6
1. Tiada
seorang juapun dapat dihadapkan di Pengadilan selain daripada yang ditentukan
baginya oleh Undang-Undang.
2. Tiada
seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya.
Pasal 7
Tiada seorang juapun dapat
dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas
perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara-cara yang
diatur dengan Undang-Undang
Pasal 8
Setiap orang, yang disangka ditangkap,
ditahan, dituntut, dan /atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap.
Pasal 9
1.
Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupundiadili tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
2.
Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat
(1) dapat dipidana.
3.
Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti
kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
BAB II
BADAN-BADAN
PERADILAN
DAN ASAS-ASASNYA
Pasal 10
1. Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha
Negara
2.
Mahkamah agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
3.
Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh
Pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada
Mahkamah Agung.
4.
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang
lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 11
1.
Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), secara
organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
2.
Ketentuan mengenai organisatoris, administratif, dan finansial sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut
dengan Undang-Undang sesuai dengan keksususan peradilan masing-masing
Pasal 11A
1.
Pengalihan organisasi, administratif, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
2.
Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi peradilan Agama
waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
3.
Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud
ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 12
Susunan, Kekuasaan serta
Acara dari Badan-Badan Peradilan seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (1)
diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Pasal 13
Badan-badan peradilan khusus
di samping badan-badan Peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan
Undang-Undang.
Pasal 14
1.
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan mengadilinya.
2.
Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian
perkara perdata secara perdamaian.
Pasal 15
1. Semua
Pengadilan memeriksa dan meutuskan dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim,
kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
2. Di
antara para Hakim tersebut dalam ayat (1) seorang bertindak sebagai Ketua, dan
lainnya sebagai Hakim Anggota sidang.
3. Sidang
dibantu oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan
Panitera.
4. Dalam
perkara pidana wajib hadir pula seorang Penuntut Umum, kecuali apabila
ditentukan lain dengan Undang-Undang.
Pasal 16
Pengadilan memeriksa dan
memutus perkara dengan hadirnya tertuduh, kecuali apabila Undang-Undang
menentukan lain.
Pasal 17
1. Sidang
memeriksa Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang
menentukan lain.
2. Tidak
dipenuhi ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum.
3. Rapat
permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 18
Semua putusan Pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
Pasal 19
Atas semua putusan Pengadilan
tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan
banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila Undang-Undang
menentukan lain.
Pasal 20
Atas putusan Pengadilan dalam
tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak
yang berkepentingan yang diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 21
Apabila terdapat hal-hal atau
keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan
Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dilakukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara-perkara perdata dan
pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Pasal 22
Tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan
Peradilan Militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali jika menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Kewenangan Pengadilan Umum
untuk mengadili perkara-perkara yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional
atau Polisi Republik Indonesia bersama-sama dengan orang sipil pada hakekatnya
merupakan suatu kekecualian atau penyimpangan dari ketentuan, bahwa seorang
semestinya diadili di sidang pengadilan masing-masing.
Hal tersebut merupakan kekcualian,
maka kewenangan pengadilan Umum tersebut terbatas pada bentuk-bentuk pernyataan
dalam suatu delik, seperti sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 dan pasal 56
KUHP.
Undang-undang ini memberikan
kewenangan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Peradilan Militer
sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut.
Pernyataan pada suatu delik militer yang murni oleh orang sipil dan perkara
pernyataan, di mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat
dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum,
ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demikian. Jika dalam
hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan Hakim adalah dari
Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan Justiciabel
tetap mendapatkan perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan Hakim yang
bersidang. Dalam waktu perang di mana berlaku hukum eksepsional ataupun hukum
luar biasa, meskipun tindak pidana itu dilakukan bersama-sama dengan seorang
sipil, anggota Tentara Nasional atau Polisi Republik Indonesia tidak ditarik
dari pengadilannya.
Pasal 23
1. Segala
putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan
itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
2. Tiap
putusan pengadilan ditandatangani oleh Ketua serta Hakim-hakim yang memutus dan
Panitera yang ikut serta bersidang.
3.
Penetapan-penetapan, ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita-berita
acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera.
Pasal 24
Untuk kepentingan peradilan
semua Pengadilan wajib memberi bantuan yang diminta.
BAB III
HUBUNGAN LEMBAGA
PENGADILAN DAN LEMBAGA
NEGARA LAINNYA
Pasal 25
Semua pengadilan dapat
memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat-nasihat tentang soal-soal
hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta.
Pasal 26
1.
Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan
dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2.
Putusan tentang pernyataan tidak sahnya menurut peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan ditingkat kasasi.
BAB IV
HAKIM DAN
KEWAJIBANNYA
Pasal 27
1. Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula
sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.
Pasal 28
1. Pihak
yang diadali mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Hak
ingkar adalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan-keberatan
yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akan mengadili
eprkaranya. Putusan mengenai hal tersebut dilakukan oleh Pengadilan.
2.
Apabila seorang Hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat
ketiga atau semenda dengan Ketua, salah seorang hakim Anggota, Jaksa, Penasehat
Hukum atau Panitera dalam suatu perkara tertentu, ia wajib mengundurkan diri
dari pemeriksaan itu.
3. Begitu
pula apabila Ketua, Hakim Anggota, Penuntut Umum atau Panitera masih terikat
dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda denganyang
diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan itu.
Pasal 29
Sebelum melakukan jabatannya,
Hakim, Panitera, Panitera Pengganti dan Jurusita untuk masing-masing lingkungan
peradilan harus disumpah atau berjanji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai
berikut :
"Saya bersumpah /
berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tiada memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah /
berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan
ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun
juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah /
berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan
segala undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia".
"Saya bersumpah /
berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,
seksama dan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Anggota Mahkamah Agung yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
BAB V
KEDUDUKAN PEJABAT
EPRADILAN
(PENGADILAN)
Pasal 30
Syarat-syarat untuk dapat
diangkat dan diberhentikan sebagai Hakim dan tata cara pengangkatannya dan
pemberhentiannya ditentukan dengan Undang-undang.
Pasal 31
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh
Kepala Negara.
Pasal 32
Hal-hal mengenai pangkat,
gaji, dan tunjangan Hakim, diatur dengan peraturan tersendiri.
BAB VI
PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 33
1.
Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
2.
Pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut ayat (1) oleh Ketua
Pengadilan yang bersangkutan, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
3.
Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera
dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
4. Dalam
melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan
perikeadilan tetap terpelihara.
Pasal 34
Pelaksanaan putusan
Pengadilan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 35
Setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 36
Dalam perkara pidana seorang
tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan / atau penahanan berhak
menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.
Pasal 37
Dalam memberi bantuan hukum
tersebut pada pasal 36 di atas, penasihat hukum membantu melancarkan
penyelesaian perkara dengan menjungjung tinggi Pancasila, hukum dan keadilan.
Pasal 38
Ketentuan-ketentuan dalam
pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 39
Penghapusan Pengadilan adat dan swapraja
dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal 40
Semua peraturan-peraturan
yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertentangan
dengan Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40A
Dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40, semua ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan pasal 11 atau yang berkaitan dengan
pasal 22 masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang baru.
Pasal 41
Undang-undang ini dinamakan
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari
diundangkan
Agar supaya setiap orang
dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya pada Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Desember 1970
DAFTAR PUSTAKA
&
Kansil, C.S.T. Drs, S.H., 1986, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
(KUKK), Jakart: PT. Bina Aksara.
&
Muhammad, Abdul Kadir, Prof S.H., 2001, Etika Profesi Hukum, Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
& Sumaryono,E,
1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta :
Kanisius.
& UU
RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU No. 18
Tahun 2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU
No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5 Tahun 1991 Tentang
Kejaksaan, dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Beserta Penjelasannya,
Surabaya : Karina, 2003.
Abdul
Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2001, hlm 101.
C.S.T.
Kansil, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakart: PT. Bina
Aksara, 1986, hlm. 18 - 19
Abdul
Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm 102 - 104
E.
Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum,
Yogyakarta : Kanisius, 1995, hlm. 175 - 177
Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm.
104 - 105
C.S.T
Kansil, Op. Cit, hlm. 8 - 12
UU RI No.
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 35
Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan,
dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Beserta Penjelasannya, Surabaya :
Karina, 2003, hlm. 130 – 150.