Bagikan Ke

Friday, October 28, 2011

Sang Guru Cinta

Lebih dari seminggu yang lalu, sebelum balik ke Batam, setelah mendapat banyak
pelajaran di Yogyakarta, saya sempatkan untuk balik ke kampong halaman saya di
Semarang, walau cuma untuk 34 jam saja. Tetapi ada yang berarti di situ.

Bertemu orang yang sangat kuhormati, bapakku, yang selama ini beliau adalah guruku dalam tuntunan hidup.

Sudah lama kami tidak berbincang berdua sampai ber jam -jam seperti dulu, waktu aku belum berkeluarga. Berbincang apa saja, dari sepak bola sampai politik.

Memang semenjak berkeluarga, bapak lebih sering membincangkan masalah Sekar,
putriku, tentang cara membesarkan anak, yang itu buat kami berdua, saya dan istri, adalah hal yang wajar bagi seorang kakek terhadap cucunya. Walau kadang terkesan menggurui, tapi kami berdua menerimanya dengan ikhlas, sebagai pelajaran hidup bagaiman anak seharusnya di didik.

Karena kebetulan sendiri, istri dan putriku tidak ikut, kami lebih punya kesempatan untuk ngobrol apa saja.

Malam pertama datang, kami masih asyik nonton piala dunia di televisi, sambil
berbincang soal Yogyakarta, dan tentunya PSIS Semarang, team sepak bola yang bias membuat kami tertawa dan menangis. Di selingi bakmi jawa keliling di kampong kami, perbincangan memang asyik, sampai aku beranjak tidur setelah acara pertandingan  piala dunia berakhir.

Pagi harinya, bapak mengajak aku belanja ke pasar, naik Honda 70 kebanggaanku waktu kuliah, masih terawat baik, beliau membelikan makanan laut kesukaanku, walau aku tahu beliau tidak akan makan itu, Karena alasan kesehatan. Seperti biasa duitku di tolak ketika aku akan membayar semua belanjaan yang ada.

Pulang dari pasar mampir kami ke kios bunga untuk membeli bunga mawar untuk ziarah, penjual yang sama belasan tahun lalu. Bapak menyempatkan berbincang - bincang dengan penjual bunga, membiarkan aku mengawasi keramaian pasar.

Kami tidak langsung ke makam almarhumah ibu, karena biasanya kesana sore hari.
Sesampai di rumah, kami olah belanjaan yang ada, tanpa boleh di bantu oleh yang
lain, bapak memasak sendiri semuanya, katanya special buat aku, anak yang jarang ketemu.

Masakannya masih enak, dan aku ingat ketika ibu cerita sama kami, bahwa ibu belajar masak dari bapak. Sebagai anak seorang berada dengan beberapa pembantu, ibu tidak perlu repot - repot untuk memasak, lain dengan bapak, yang umur belasan tahun, sejak kelas 1 SMP, sudah yatim piatu, dan ikut orang lain, belajar mandiri dari kecil.

Selesai makan, istriku telpon, yang kemudian kuberikan ke bapak, karena sekar
putriku ingin ngomong sama kakungnya, setengah jam mereka berdua bercanda lewat
telepon, seperti biasanya.

Selesai telpon, kulihat bapak terdiam di kursi, kemudian dengan menahan tangis,
beliau memandang foto ibu didinding, foto ibu yang tak pernah tua, beliau selau
muda.

"Bapakmu ini curang, dulu sengsara berdua sama ibumu, giliran senang malah sendiri, ibumu pasti senang kalau lihat cucu - cucunya yang pintar & lucu," beliau berkata dengan mata sudah memerah. "Tapi ibumu lebih curang lagi, dia tidak pernah kesepian, sementara aku, selalu merasa kesepian, kapan bisa ketemu lagi sama ibumu". Aku semakin diam, dan tanpa sadar kelopak mataku mulai berair.

Bapakku tahu kami semua sayang sama ibu, tapi kami juga merasa itu juga karena bapak.

Waktu kelas 5 SD, diajak bapak, melintasi padang rumput dan hutan kecil yang sepi di bawah kaki gunung ungaran, berjalan kaki menuju satu desa yang berhawa sejuk. Perjalanannya sangat melelahkan, 4 jam, tanpa ketemu orang. Pak lurah menyabut kami dengan "mewahnya" sampai aku ingin menghabiskan semua, sampai bapak mengingatkan bahwa kita harus berjalan pulang dengan jalan yang sama.

Sampai di tempat kami menitipkan kendaraan, bapak mengajakku istirahat sejenak
sambil menikmati keindahan gunung ungaran.

"bapak yakin kamu lelah, tapi tahu ngga ibumu sering melewati jalan itu sendiri, bahkan sampai menjelang malam, hanya untuk memberi penyuluhan kesehatan masyarkat di daerah terpencil, makanya orang desa tadi sayang sama kamu, karena mereka saying sama ibumu"

Aku tertegun mendengar itu, dan dari situlah kebiasaanku memijit kaki ibu sepulang kerja.

Pernah dalam satu kesempatan, bapak berkata," aku ini ibaratnya peceran (selokan) yang tiba - tiba kejatuhan berlian yang bersinar terang, sehingga semuanya menjadi bersih, wangi dan bercahaya. Aku orang paling beruntung sedunia ketika mendapatkan ibumu".

Perjuangan berat mendapatkan ibuku, karena beberapa konflik factor, menjadi
inspirasiku saat berusaha mendapatkan wanita yang kuyakini untuk diriku, istriku.

Tapi ibu juga pernah cerita sama kami," ibu ngga tahu, kalau ngga jadi sama bapakmu, siapa yang akan menuntun ibu untuk dewasa kalau bukan bapakmu. Bapakmu yang membuat ibu paham akan kehidupan".

Beliau berdua memang selalu memuji satu sama lain didepan anak-anaknya. Tiap sore kami semua bergurau dengan bapak dan ibu selalu saling meledek.

Karena aku lebih suka tidur di kursi depan, aku sering mendengar pembicaraan beliau tentang masa depan kami anak-anaknya, bagaimana menyiasati kebutuhan hidup, bahkan impian mereka berdua ketika tua nanti.

Tuhan berkehendak lain, di saat kami sudah mulai berkembang, ibu mendadak
meninggalkan kami, karena sakit.

Kami semua mencoba tegar, tapi seorang lelaki tegar yang kukenal, seorang yang
selalu bisa menjaga emosi dengan stabil, seperti kehilangan segala-galanya.

Bapak lebih banyak termenung dan menangis, sampai sakit-sakitan, itu berlangsung hampir selama 2 tahun. Tidak jarang beliau harus nginap di rumah sakit 2 hari, dan tiba-tiba sembuh sendiri.

Dokter yang menangani selalu heran, sampai mereka bertanya sama bapak.

"bapak kok cepat sekali sembuhnya, padahal kemarin sampai pingsan waktu masuk kesini".

Jawab bapak, " tadi pagi istri saya kan nyuapin saya sarapan sama menghibur saya, makanya saya sehat lagi". Dokter dan perawat yang kenal ibu, cuma bisa menangis terharu.

2 tahun kami lalui dengan berat, sampai suatu hari bapak minta makanan yang
sebelumnya beliau selalu hindari, dan semenjak itu kesehatan beliau mulai berangsur membaik untuk melakukan aktfitas sehari-hari. Kami penasaran sampai akhirnya di suatu kesempatan setelah itu bapak bercerita.

"ibumu nemuin bapak, dan mengajak bapak ketempat kediamannya, sebuah tempat yang indah yang bapak ingin ikut serta di dalamnya, tapi kata ibumu, nanti saja setelah TIGA PERKARA itu di selesaikan, bapak tahu ibumu tidak pernah ingkar janji". Beliau tersenyum bahagia saat bercerita, walau aku sendiri sampai sekarang Cuma menerka-nerka apa itu TIGA PERKARA.

Walau tiap malam masih kudengar tangis bapak dalam doa sholat malamnya, tapi dalam keseharian beliau selalu kelihatan tegar dalam kesepian membesarkan kami
anak-anaknya. Bapak dan ibu seperti memang diciptakan Tuhan dengan kehalusan
hatiNya, walau beda alam, masih ada hal aneh dalam hubungan mereka, seperti missal ketika Kakek, ayah ibu, meninggal, bapak tanpa sadar di pagi hari bicara sama dua adikku, "siap - siap kita pergi, ada yang meninggal hari ini". Tidak berapa lama ada kabar bahwa kakek kami meninggal. Bapak bilang "tadi waktu sholat subuh, ibumu yang memberi tahu".

Bapak lebih terbuka terhadap aku, bukan karena aku anak laki-laki satu-satunya, tapi karena lebih beliau bilang kamu adalah amanat, di saat ibumu menghadapi sakratul maut, namamu yang sering keluar dari mulut beliau, itu yang harus beliau jaga (walau aku belum bisa menjadi anak yang bisa membanggakan mereka...)

Aku tidak heran kalau bapak sayang sekali dengan Sekar putriku.

Tapi aku seperti ingin menangis, bertahun-tahun ternyata bapak menyimpan rahasia,

"aku tidak pernah bisa sejajar dengan ibumu, dia lebih dari aku dalam segala hal, aku hanyalah orang yang beruntung bisa bersamanya, walau sebentar, bahkan bersimpuh di kakinya aku sudah sangat bahagia", bapak memulai pembicaraan kami di depan makam ibu, sore harinya.

"jadi begitu ibumu meninggal, bapak langsung memesan makam tepat di bawah makam
ibumu, jadi aku bisa bersimpuh di kakinya selamanya, karena ibumu adalah
kebahagianku, kamu tahu sekarangkan."

Makam yang selama ini kupikir makam orang lain, adalah makam yang dipesan bapakku bertahun-tahun yang lalu, Cuma karena beliau ingin selalu bersimpuh di kaki wanita yang paling dia cintai di dunia ini, bukan di sampingnya, tapi di kakinya, betapa mulia ibuku di mata bapakku.

Aku sudah tidak bisa menangis lagi, rasa haru cuma menggumpal di dada, betapa
bahagianya mereka berdua....

Saat itu aku Cuma berpikir, aku ingin cepat balik ke Batam, di pelukan istriku
tercinta & Sekar putriku...

Walau cuma 34 jam, aku telah berguru pada Sang Guru Cinta....



"seorang lelaki, bukan seorang lelaki kalau dia tidak peduli pada istri dan
anaknya...".


Perjalanan Cinta yang Teruji...????

"Pernikahan itu ditentukan di surga, tapi diperbaiki di bumi." Boleh dipercaya, boleh juga disangkal. Memang jodoh ditentukan oleh Yang Kuasa, tetapi untuk menentukan terjadinya pernikahan itu kita harus banyak melakukan usaha untuk mewujudkannya.

Erna menerima pesan untuk makan siang dengan Aty sahabatnya dengan catatan: "Penting, jangan sampai tidak bisa!" Maka begitu Erna bertemu dengan Aty di tempat mereka janjian, Erna tak kuasa menahan sabarnya karena dia tahu persis Aty sahabatnya adalah wanita karier kelas tinggi yang sukses di mana waktu sangatlah langka untuk dipakai sekadar ngobrol bareng sambil makan siang. Nah, hari ini pasti ada hal penting yang akan Erna dengar dari sahabatnya, maka begitu sampai di meja pertemuan, langsung Erna bertanya: "Angin apa yang membuatmu menyisihkan waktu untuk makan siang bersamaku?"

Aty yang manis, tersenyum penuh arti sambil mempersilahkan sahabatnya duduk dulu, dan terdengarlah dia berguman seolah berkata pada dirinya sendiri: "Kenapa ya setelah kulalui pernikahanku selama lima belas tahun dengan mulus, aku bisa jatuh cinta lagi pada laki-laki lain. Aku tak kuasa menahan getaran kerinduan yang aku coba tepis dan aku coba untuk menyadari sesadar-sadarnya kalau perasaan ini terlarang!"

"Coba kamu bayangkan Erna, tidak ada yang salah dengan Joko suamiku. Dia suami yang baik dan tetap seperti dulu, yaitu mencintai dan membahagiakan aku sebisanya. Tapi Harry laki-laki yang aku temui satu pesawat dalam perjalanan bisnisku ke Amerika membuat aku tidak bias lagi berakal sehat."

"Aku jatuh cinta lagi, dan kami berdua sama-sama sadar telah mempunyai keluarga yang terbina melebihi sepuluh tahun dan dengan pasangan kami pun tidak ada masalah. Tetapi perasaan kami berdua tidak bisa dimengerti kami selalu saja rindu untuk bertemu, bahkan akhirnya kami pun sudah melakukan hubungan suami-istri yang sangat indah. Ya, indah karena getar-getar yang tidak dirasakan lagi bersama suamiku. sekarang begitu menggebu sepertinya aku kembali remaja yang
baru pernah jatuh cinta dan baru pernah melakukan hubungan intim tersebut."

Erna sampai terbengong mendengar apa yang baru saja didengarnya, bagaimana tidak? Membayangkan pun dia tidak bisa! Bagaimana Aty bias jatuh cinta lagi pada laki-laki lain selain Joko yang dia kenal baik karena mereka memang sudah bersahabat sejak masih kuliah. Ya, Joko laki-laki ideal yang ganteng pengusaha sukses yang membuat perempuan lain berharap dialah yang menjadi pendamping hidupnya. Joko yang begitu menyenangkan dari dulu diperebutkan, tapi hari ini wanita yang sudah membuatnya bertekuk lutut dan mengikatnya dalam ikatan suami
istri yang sah telah berpaling darinya dan telah jatuh cinta lagi dengan laki-laki lain yang baru dikenal.

Sungguh tidak masuk akal sehat! Aneh tapi nyata, tapi itulah yang terjadi!!

Erna teringat buku yang baru minggu lalu dibelinya di mana judul buku tersebut menjadi judul artikel ini, yaitu "Pernikahan Merupakan Perjalanan Cinta yang Teruji". Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana sepasang muda-mudi membina hubungan sejak mereka memasuki bangku SMU berlanjut sampai ke perguruan tinggi, begitu mesra penuh cita-cita akan hari depan. Maka pada tahun-tahun akhir mereka kuliah sambil bekerja, mereka berusaha mencicil sebuah rumah untuk berumah tangga.


Selepas masa kuliah mereka sama-sama bekerja untuk melengkapi rumah cicilan tersebut, berharap begitu mereka resmi dipersatukan sebagai suami istri rumah beserta isinya sudah lengkap. Tahun demi tahun rumah itu pun akhirnya terwujud dengan indah, tapi suatu hari Meita sang wanita mendapat tugas kerja di Australia selama tiga bulan, dan Meita begitu takut kehilangan Anton sang pria pujaan hatinya. Maka, dia minta ikatan sah permulaan yaitu pertunanganan (tukar cincin) yang disaksikan kerabat dan teman karib mereka, diikatkan sebagai
calon pasangan suami istri yang sah di kemudian hari. Resepsi besar direncanakan sepulang Meita bertugas.

Hari demi hari pasangan tersebut lalui dengan komunikasi jarak jauh yang mesra. Tetapi belakangan Anton mulai menerima lebih sedikit balasan dari sang wanita, dan bulan berikutnya balasan e-mail atau sms tidak pernah ada lagi. Sang pria benar-benar maklum kalau Meita sekarang tidak lagi membalas surat-suratnya. Dia maklum calon istrinya pastilah sangat sibuk di negeri orang. Sampai akhirnya masa tugas tiga bulan sudah selesai, sang pria yang setia menunggu hari
itu tiba membeli seikat mawar merah dan dengan penuh kerinduan menjemput Meita sang kekasih yang akan tiba di bandara.

Begitu bertemu, dia melihat wajah sayu kekasihnya, mata yang sembab menandakan betapa gundah hati Meita dan mata tersebut berkata dia menangis dalam waktu yang lama. Dengan penuh kasih sayang sang pria memeluk calon istrinya. Tapi apa yang berlangsung kemudian sungguh di luar dugaan. Dengan mata sendu sang wanita menatap nanar dan berkata: "Sebaiknya kita bicara langsung, kelihatannya ada yang salah dengan pertunanganan kita. Aku tidak bisa melanjutkannya karena aku
sudah jatuh cinta kepada Bram."

Ya, laki-laki yang sedari tadi berdiri dekat Meita yang tak kelihatan dan disadari oleh Anton. Bram tiba-tiba tersenyum sambil menyodorkan tangan perkenalan.

Kembali terdengar suara lirih penuh rasa salah Meita: "Bram aku temui di pesawat dan ternyata dia rekan kerjaku selama di- Australia dan kami sudah hidup bersama di sana."

Jadi, jelaslah sudah kenapa sekarang Anton tidak mendapatkan lagi balasan surat-suratnya. Ternyata cinta mereka yang dirajut bertahun- tahun
musnah tak berbekas hanya dalam waktu tiga bulan. Dengan lunglai akhirnya bunga mawar yang dipegangnya tetap dia berikan pada Meita, dan Anton merasa hari itu dunia begitu gelap dan angin yang berdesir pun terasa tajam di wajahnya. Dia merasa begitu konyol menunggu hari demi hari untuk menyerahkan mawar dan mendapat senyum manis kekasihnya yang sangat dirindukan yang sebentar lagi menjadi miliknya secara penuh. Apa nyana hari itu dia kehilangan orang yang
selama ini dikenalnya. Sosok yang ditemui saat itu bukan Meita yang dia rindukan, bukan Meita yang dia kenal. Entahlah siapa yang saat itu berdiri di hadapannnya yang perlahan-lahan meningggalkannya untuk masuk ke mobil lain yang menunggunya.

Dari dua kisah di atas kita memang tidak bisa mengerti akan diri kita sendiri, bicara tentang cinta sungguh suatu misteri yang susah dijabarkan. Dalam artikel "Memburu Cinta dengan 84.000 Dolar", di mana disimpulkan oleh para ahli jiwa bahwa cinta merupakan gabungan psikologi, biologi, dan kimia yang bisa dihitung dan didefinisikan.
Nah, bagaimana hitungannya kalau yang terjadi di luar akal sehat?

Perasaan cinta tidak mengenal bangsa, budaya maupun usia bahkan tidak mengenal situasi dan kondisi dari manusia manapun di dunia ini.

Rasa cinta selain berisi harapan untuk selalu dekat dengan segala hal yang diinginkan, juga memiliki pemahaman untuk selalu membahagiakan orang yang dicintai.

Nah, kalau cinta sudah menghasilkan korban yang bersedih, itu bukan cinta namanya. Maka pernikahan adalah sebuah ujian cinta yang harus dilakoni bersama. Apakah kita bisa memberi dan menerima kebahagiaan dari pasangan nikah kita? Apakah kita akan lulus menempuh ujian cinta ini? Hanya diri sendiri yang tahu.

KEGUNDAHAN

1.        Sesungguhnya kesedihan. kesakitan, kegundahan, dan berbagai penderitaan
lainnya merupakan penghapus berbagai dosa dan maksiat yang pernah kita
lakukan.
        "Dari Abu Sa'id dan Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda:
"Seorang muslim yang tertimpa penderitaan, kegundahan, kesedihan,
kesakitan, gangguan, dan kerisauan, bahkan hanya terkena duri, semuanya
itu merupakan kafarat (penebus) dari dosa-dosanya." (H.R. Bukhari dan
Muslim)
2.        Ujian merupakan perahu yang akan menghantarkan kita pada kebaikan.
        "Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Barang siapa
yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah swt. akan
memberinya cobaan." (H.R.Bukhari)
3.        Ujian menjadi sarana untuk mendapatkan ridha dan cinta-Nya.
        "Anas r.a. berkata: Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya besarnya pahala itu
tergantung dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya apabila Allah Ta'ala itu
mencintai sesuatu kaum maka ia mencobanya, barang siapa yang rela
menerimanya maka ia pun mendapat keridhoan Allah dan barang siapa yang
murka maka ia pun mendapat murka Allah". (H.R.Tirmidzi)
4.        Ciri keislaman seseorang telah sempurna adalah apabila ditimpa musibah
ia mampu bersabar dan kalau dikaruniai nikmat bisa beryukur.
        "Abu Yahya Shuhaib bin Sinan r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: "Sangat mengherankan keadaan seorang mukmin itu, segala keadaan
dianggapnya baik dan hal ini tidak akan terjadi kecuali bagi seorang
mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan ia bersyukur maka itu lebih baik
baginya, dan apabila ditimpa penderitaan ia bersabar maka itu lebih baik
baginya". (H.R.Muslim)


Wallahu A'lam

Episode Memperbaharui Cinta

Sudah pukul 19.00 malam. Saatnya aku berangkat untuk mengejar pesawat ke Jakarta pukul 20.30. Traveling-bag sudah disiapkannya sejak pagi.

"Pergilah," katanya memandang mataku. "Ini belum waktunya. Kontraksinya bukan di fundus, tetapi di bagian bawah. Mungkin ... sakit biasa."

Aku pun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanapun ia seorang dokter. Dan, ia pun sudah aku bekali dengan alamat, no telp, dan ancar-ancar ke rumah bidan itu. Aku bahkan sudah meninggalkan pesan ke teman sekantor,
jika sewaktu-waktu saat itu tiba, ia siap membantu.

Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya mesra. Dan tas itu sudah kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya menyuruhku pergi, tetapi kutahu matanya tidak. Ia bahkan tidak beranjak dari tempatnya karena sakit yang tak terperikan itu. Apakah ini sudah
waktunya? Tanya batinku mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 9-10 hari lagi?

Kulihat kini mata itu basah.

Sedetik kemudian aku putuskan, "Kayaknya lebih baik aku tak jadi pergi." Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali.

Ia terkesima. "Nggak papa, ta, Mas?" tanyanya, sembari mengusap sembab matanya. "Aku nggak papa, kok. Kalaupun nanti ke bidan sendiri, aku bisa."

"Nggak. Aku bisa tunda acara di Jakarta besok."

Ia memelukku dalam isak.

"Coba kita lihat sampai besok, " bisikku. "Jika sakit itu mereda, aku bisa ke Jakarta petangnya."

Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring.

Kukontak teman seperjalanan. Dan kukatakan padanya keadaanku. Ia bisa mengerti. Segera aku ke kantor yang hanya 5 menit dari rumah untuk menitipkan data agar diserahkan ke anggota timku di Jakarta.

Belum selesai mengcopy ini-itu, sebuah SMS masuk ke mailbox HP-ku. "Mas, jangan lama-lama, ya?" begitu isinya. Dari isteriku. Secepat kilat kuserahkan data yang belum lengkap itu ke teman seperjalananku. Aku segera balik ke rumah.

Ternyata benar. Tak menunggu menit berlalu, ia sudah mengeluarkan tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin menguat membuatnya nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut. Sepercik cairan merah atau coklat, aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan
bahwa saatnya telah tiba. Maju dari perkiraan.


Kutelpon temanku yang mau meminjami mobil. Segera aku berbenah. Cepat. Tak ada waktu menunggu. Dua potong jarit, setumpuk popok, stagen, pakaian ganti luar dalam, softtex, minyak but-but, spirulina. Semua
kumasukkan asal-asalan dalam tas kuning yang sudah disiapkannya jauh hari.

Mobil pinjaman teman segera datang. Dan ia pun kubawa pergi. Sementara aku mengatakan padanya untuk tenang dan terus bertahan, aku sendiri menyumpah-serapahi mobil-motor di depanku yang tak segera beranjak ketika lampu lalu-lintas sudah kuning berkelip-kelip menuju hijau. Sementara aku katakan padanya sebentar lagi sampai di tempat tujuan, aku sendiri tegang: penginnya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi tak mungkin.

Ketika akhirnya sampai di tujuan, hujan turun gerimis dan dia sudah buka 10! Bu Is, bidan kami, segera beraksi. Suntikan, tabung oksigen, selimut, sarung tangan, botol-botol cairan. Lampu-lampu dinyalakan.
Celemek dipakaikan. Sementara ia, yang telah menyiapkan tasku sejak pagi, meringis menahan sakit di atas pembaringan. Bu Is menyuntik seraya memegang-megang perut buncitnya. Asistennya menyiapkan ember.

Aku menggenggam tangannya. Aku memegang keningnya.
Peluh bercucuran.

Dan kami seoua mEnunggu detik-detik itu.

Tak berapa |aia, ia mångejan. Bu Is memberi aba-aba. Aku menggengwam lebih erat tangannya. Ia mengaMbil napas Panjane. Ia mengejan ìagi& Suaranya seperti ingin menghentakkan sesuitu yang sangat berat.
Wajahnya pias bertaburan keringat. Aku komat-kamit berdoa sambil mengusap titik-titik air yang terus mengalir di seluruh wajahnya.

Ia berhenti sejenak lagi, mengambil napas panjang lagi, dan mengejan lagi! Bu Is memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar kemudian suara seperti karet yang teregang begitu kuat, melewati batas maksimal regangannya. Seperti mau putus. Dan kulihat kepala itu. Perlahan, di sela riuh aba-aba Bu Is, ejanan dan erangan dirinya, dan suaraku sendiri yang
menguatkannya untuk terus mendorong. Terus! Dorong! Kini kulihat perlahan leher, lalu punggung, tangan, dan akhirnya kaki keluar cepat diikuti ... byoorrr! Ketuban mengalir laksana air bah. Putih. Bening
seperti air beras.

Ia terengah serupa habis mengangkat beban ribuan karung. Terkulai pucat-pasi. Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek memecah malam. Hujan gerimis di luar terdengar jelas menusuki atap genting.

"Laki-laki, Mas," Bu Is memberi kabar seperti angina sejuk mengaliri padang gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang dialaminya seketika hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak tergambarkan. Aku tersenyum padanya. Laki-laki, bisikku padanya
mengulang. Ia menggenggam erat tanganku.

"Aku capek sekali, " katanya.
Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka-cita.

Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama denganku.
3,8 kg. Lahir per vaginam. 12 Pebruari 2006 jam 21.00 WIB.

Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap!

***

Persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri. Peristiwa berdarah-darah.

Ia seperti sebuah garis batas yang mengkhawatirkan. Tak jarang mengerikan. Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas antara hidup dan mati. Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria gagah-perkasa, melainkan seorang wanita dengan segala kelemahannya.
Saking beratnya episode ini, Rasul menimbangnya sebagai sama dengan jihad di medan peperangan.

Pernahkah Anda mengalami keadaan ini. Isteri sudah berkontraksi penuh. Bidan lalu memecah ketuban untuk memperlancar persalinan. Tetapi ketika memeriksa, ia seperti berteriak histeris, "Bu, ini bukan kepala!
Bayinya sungsang! Saya tidak berani. Tunggu, tahan dulu! Saya akan panggilkan dokter!"

Ia lalu menelepon dokternya setengah berteriak-teriak seakan-akan seekor anjing galak sudah bersiap menggigit kakinya. Sementara Anda, seorang laki-laki perkasa yang hanya bisa bengong dan tak tahu harus
berbuat apa melihat isteri Anda tersiksa begitu rupa. Di saat itulah Anda akan merasakan betapa baying kematian terasa di depan mata dan Anda betapapun perkasanya seperti tiada berguna. Betapa kekhawatiran
akan kehilangan seseorang, detik itu, menghantui diri Anda.

Saya pernah mengalaminya saat kelahiran anak saya kedua.

Ini kali keempat saya mendampingi isteri melewati garis batas itu. Tetapi, rasanya seperti mendampingi proses kelahiran anak yang pertama, kedua, dan ketiga. Selalu saja timbul pertanyaan itu: akankah masih bias menjumpai senyumnya setelah episode ini?

Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia mengeluarkan buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan,
sehabis itu, cinta ini seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah memang cinta justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya lagi?

Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk selalu mendampinginya pada peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat maut, membuat saya tidak akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya.
Sungguh, apa yang saya sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar pagi dan pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah sepadan dengan apa yang harus dialami wanita perkasa itu.

Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baik suami adalah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya, Anda, para suami tidak
ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anak-anak Anda memanggil padanya ibu.

Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah terapi jiwa, sekaligus episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya cinta saya padanya sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya
mendampinginya lagi untuk bersalin.

Ha ha ha. Sepertinya senda-gurau. Tetapi percayalah, ini serius. Dan satu hal yang selayaknya diingat adalah bahwa yang dibutuhkannya pada saat genting itu bukanlah ibu ataupun mertua Anda. Ia hanya membutuhkan
genggaman tangan Anda. Jadi, sudahkah Anda melakukannya?

Wa Allahu a'lam.

LIMA SYARAT MELAKUKAN MAKSIAT

Suatu hari ada seorang lelaki yang menemui Ibrahim bin Adham. Dia berkata, ''Wahai Aba Ishak! Selama ini aku gemar bermaksiat. Tolong berikan aku nasihat. Setelah mendengar perkataan tersebut Ibrahim berkata, ''Jika kamu mau menerima lima syarat dan mampu melaksanakannya, maka boleh saja kamu melakukan maksiat.'' Lelaki itu dengan penasaran bertanya. ''Apa saja syarat-syarat itu, wahai Aba Ishak?'' Ibrahim bin Adham berkata,

''Syarat pertama, jika kamu bermaksiat kepada Allah, jangan memakan rezekinya.''

Mendengar itu dia mengernyitkan kening seraya berkata, ''Lalu aku mau makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi ini rezeki Allah? ''Ya,'' tegas Ibrahim bin Adham. ''Kalau kamu sudah memahaminya, masih pantaskah memakan rezekinya, sementara kamu selalu berkeinginan melanggar larangan-Nya?''

''Yang kedua,'' kata Ibrahim, ''kalau mau bermaksiat, jangan tinggal dibumi-Nya!

Syarat ini membuat lelaki itu kaget setengah mati. Ibrahim kembali berkata kepadanya, ''Wahai Abdullah, pikirkanlah, apakah kamu layak memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kamu melanggar segala larangan-Nya?'' ''Ya, Anda benar,'' kata lelaki itu. Dia kemudian menanyakan syarat yang ketiga. Ibrahim menjawab,

''Kalau kamu masih mau bermaksiat, carilah tempat tersembunyi yang tidak dapat terlihat oleh-Nya!''

Lelaki itu kembali terperanjat dan berkata, ''Wahai Ibrahim, ini nasihat macam apa? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?'' ''Nah, kalau memang yakin demikian, apakah kamu masih berkeinginan berlaku maksiat?'' kata Ibrahim. Lelaki itu mengangguk dan meminta syarat yang keempat. Ibrahim melanjutkan,

''Kalau malaikat maut datang hendak mencabut rohmu,katakanlah kepadanya, 'Mundurkan kematianku dulu. Aku masih mau bertobat dan melakukan amal saleh'.''

Kembali lelaki itu menggelengkan kepala dan segera tersadar, ''Wahai Ibrahim, mana mungkin malaikat maut akan memenuhi permohonanku?'' ''Wahai Abdullah, kalau kamu sudah meyakini bahwa kamu tidak bisa menunda dan mengundurkan datangnya kematianmu, lalu bagaimana engkau bisa lari dari murka Allah?'' ''Baiklah, apa syarat yang kelima?'' Ibrahim pun menjawab,

''Wahai Abdullah kalau malaikat Zabaniyah datang hendak menggiringmu ke api neraka di hari kiamat nanti, jangan engkau mau ikut bersamanya.''

Perkataan tersebut membuat lelaki itu tersadar. Dia berkata, ''Wahai Aba Ishak, sudah pasti malaikat itu tidak membiarkan aku menolak kehendaknya.'' Dia tidak tahan lagi mendengar perkataan Ibrahim. Air matanya bercucuran. ''Mulai saat ini aku bertobat kepada Allah,'' katanya sambil terisak.

Demi Allah semua perbuatan kita di dunia akan bersaksi………………..!!!!!!!!!

Jangan lupa Komentarnya

Subhanalloh

Download Content

Ensiklopedia Software Tips

scan QR code

QRCode