Bagikan Ke

Thursday, March 31, 2011

Jinayat


Pengertian Jinayat
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.
  • Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi sengaja (qotl sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho'), penganiayaan sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho')
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi sengaja (qotl sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho'), penganiayaan sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho').
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja (qotl ‘amd) karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar'i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. "Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya." (an nisa': 93). Rosulullah SAW juga bersabda, " Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah". (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (‘Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (‘uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (‘uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
  • Jarimah Ta'zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).

Makalah Fiqh Jinayah


HIRABAH


PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Ajaran Islam sangat menjunjung tinggi kesucian hidup dan harta benda manusia. Al-qur’anulkarim merupakan sebuah kitab ” hidayah ”, petunjuk yang sempurna bagi seluruh kehidupan manusia. Tatanan hidup yang Islami merupakan suatu keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara baik jasmani maupun rohani umat manusia.
Oleh karena itu tatanan moral Al-qur’an harus diikuti dengan ketat guna menciptakan kehidupan manusia dibumi ini yang hayati dan damai. Sebagai anggota Ummah yang dibebaskan, maka setiap anggota masyarakat harus membela kebenaran dari Allah dan dibebaskan dari rasa kekhawatiran ataupun perbudakan terhadap kelemahan manusia yang mengganggu, ternak , merampas harta atau nyawa oang lain dengan kekerasan tangan. Al-Hirabah atau penodong di jalan raya, menurut Al-qur’an merupakan suatu kejahatan yang gawat, ia dilakukan oleh suatu kelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang musafir atau orang yang berjalan di jalan raya atau di tempat dimanapun mereka merampas harta korbannya dengan menggunakan kekerasan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam permasalahan ini, pemakalah akan menguraikan tiga poin penting, yaitu :
- Pengertian Hirabah
- Pelaku Hirabah
- Tempat berlakunya hukuman


C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah ini ialah ;
- untuk mengetahui apa itu Hirabah ?
- untuk mengetahuidan memahami siapa pelaku Hirabah tersebut?
- Untuk mengetahui dimana hukuman bagi pidana Hirabah itu diberlakukan?





PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HIRABAH

Hirabah adalah pembegalan ( qat’u at-tariq ) atau pencurian besar. Menamakan pencurian dengan pembegalan adalah bentuk majas, bukan hakikat, karena pencurian adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan pembegalan adalah pengambilan harta secara terang-terangan. Akan tetapi, dalam pembegalan terdapat bentuk sembunyi-sembunyi, yaitu sembunyinya pelaku dari imam ( penguasa / kepala negara )dan orang yang mewakilinya demi keamanan. Karenanya, pencurian tidak dinamkan pembegalan kecuali ia memenuhi beberapa ketentuanyang membuatnya dianggap sebagai pencurian besar.
Walaupun tindak pidana hirabah dinamakan pencurian besar ( sariqah kubra ), ia tidak benar-benar mirip dengan pencurian. Pencurian adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan hirabah adalah keluar (rumah ) untuk mengambil harta secara paksa.
Unsur pencurian yang paling dasar adalah mencuri harta saja, sedangkan unsur hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, baik pelaku mengambil harta maupun tidak.
Seorang dikatakan pencuri jika ia mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan dikatakan muharib ( perampok / pengganggu keamanan )jika ia berada dalam kondisi ;
- jika keluar ia mengambil harta dengan cara kekerasan lalu menakut-nakuti orang yang berjalan, tetapi ia tidak mengambil harta dan membunuh.
- Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi tidak membunuh.
- Jika ia keluar mengambil harta dengan cara kekerasan lalu membunuh tetapi tidak mengambil harta.
- Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta dan membunuh.

Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Syi’ah Zaidiyah mendefinisikan hirabah adalah keluarnya seseorang untuk mengambil harta dengan cara kekerasan jika keluarnya menimbulkan ketakutan pengguna jalan, mengambil harta, atau membunuh seseorang .
Sebagian ulama mendefinisikan hirabah adalah upaya menakuti-nakuti orang di jalan untuk mengambil hartanya.
Dari sekian banyak definisi, disini pemakalah mencoba memahami bahwa yang dikatakan hirabah itu adalah upaya seseorang atau kelompok yang mengambil harta secara paksa ( terang-terangan, atau menakut-nakuti, membunuh, dan mengambil harta ) yang menimbulkan kondisi tertentu ( terganggunya keamanan ).
Dapat kita contohkan di Aceh, seperti terjadinya perampokan di SPBU di Blang Malu Kabupaten Pidie ( banyak di tempat lainnya ). Akibat kejadian ini banyak masyarakat yang terganggu ( terganggunya keamanan ).
B. PELAKU HIRABAH

Hirabah bisa dilakukan oleh sekelompok orang atau perorangan yang mampu melakukannya.
Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal mensyaratkan pelaku membawa senjata atau barang yang sejenis dengannya, seperti tongkat, batu, balok kayu.
Imam Malik, asy-Syafi’I, ulama Zahiriyah, dan ulama Syi’ah Zaidiyah tidak mensyaratkan pelaku membawa senjata. Menurut mereka, muharib cukup menghandalkan kekuatannya. Imam Malik bahkan menganggap muharib cukup dilakukan dengan tipu daya tanpa menggunakan kekuatan dan dalam keadaan tertentu menggunakan anggota tubuh, seperti meninju dan memukul dengan kepalan tangan.
Bisa kita contohkan muharib yang melakukan dengan tipu daya, yaitu seperti kejadian perampokan yang terjadi di Malaysia terhadap Mahasiswa Indonesia dengan cara tipu daya. Kejadian ini terjadi pada hari sabtu ( 23 / 12 )pukul 08.00 waktu setempat. Pada kejadian perampokan ini, sang pelaku mengaku sebagai polisi, sehingga leluasa mengambil barang korban ( kejadian ini terjadi di jalan tol ). Singkat cerita, polisi gadungan itu meminta SIM dan I-kad ( Internasional Card ) milik korban lalu menyuruh kedua korban tersebut untuk ikut ke kantor polisi. Namun belum tiba di kantor polisi, kedua polisi gadungan itu meminta korban menghentikan sepedamotornya dan menuduh korban sebagai tersangka pengedar narkoba. “Dengan alasan terlibat narkoba, polisi gadungan itu seenaknya memerikas isi tas milik korban. Dari dalam tas polisi gadungan itu lalu mengambil dompet, pasport, handphone, dan laptop. Saat itu, sempat terjadi aksi tarik menarik tas dan sedikit perkelahian antara korban dan pelaku. Namun korban tidak dapat berbuat banyak ketika se pelaku mengeluarkan sebilah parang. Waktu itu kedua korban berteriak meminta tolong, tetapi tidak satu orangpun yang berani menolong mereka.
Dari kasus kejadian ini, pemakalah menanggapi bahwa, perampokan itu bisa terjadi dengan tipu daya, bisa terjadi juga di kota atau di tempat keramaian.
Perampokan itu juga bisa terjadi di kota, yaitu seperti kasus kejadian perampokan toko emas di semarang. Kasus ini terjadi pada hari jum’at 2 Mei 2008, sekitar pukul 12.00, ketika sebagian penduduk sedang menunaikan shalat jum’at.
Muharib adalah setiap pelaku langsung atau pelaku tidak langsung tindak pidana hirabah.
Barang siapa mengambil harta , membunuh atau menakut-nakuti orang, ia adalah muharib ( perampok / pelaku gangguan keamanan ). Barang siapa membantu tindak pidana hirabah, baik dengan memberi dorongan, membuat kesepakatan, atau membantu, ia adalah muharib.
Muharib ( perampok / pengganggu keamanan ) disyaratkan mukallaf dan terikat dengan hukum islam. Syarat ini disepakati oleh para ulama kecuali ulama Zahiriyah. Mereka tidak mensyaratkan apapun selain mukallaf. Alasannya , kafir zimmi yang melakukan hirabah berarti merusak perjanjiannya.
Jika diantara muharib ada anak belum dewasa atau orang gila, Imam Abu Hanifah dan Ahmad menafikan hukuman hudud atas keduanya karena mereka bukan orang yang berhak atas hukuman hudud. Hukuman hudud juga dihapuskan atas orang selain keduanya daripada pelaku hirabah, baik itu pelaku hirabah secara langsung atau tidak langsung, maupun orang yang membantu melakukan hirabah.



C. TEMPAT BERLAKUNYA HUKUMAN

Agar pelaku hirabah dijatuhi hukuman hudud, Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah terjadi di negara Islam. Jika hirabah terjadi di negara non-Islam, hukuman hudud tidak diwajibkan karena orang yang melaksanakan hukuman hudud yaitu penguasa, tidak memiliki kekuasaan di negara tersebut, padahal dinegara itulah tindak pidana terjadi. Pendapat ini juga dianut oleh ulama Syi’ah Zaidiyah.
Imam Malik, asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Zahiriyah mewajibkan hukuman hudud, baik atas hirabah yang terjadi di negara Islam maupun di negara non-Islam, selama perbuatan tersebut dianggap terjadi ( berstatus ) tindak pidana. Artinya, perbuatan tersebut menimpa orang muslim atau orang zimmi yang mendapat jaminan keamanan dari beberapa muslim ( zimmi musta’man ) atau kafir zimmi secara umum ( mendapat jaminan keamanan dari negara ).

Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah tidak terjadi di dalam kota atau jauh dari pemukiman. Jika terjadi dikota, tidak ada hukuman hudud atas pelaku, baik hirabah terjadi di siang hari maupun malam hari, baik bersenjata maupun tidak. Pendapat ini di dasarkan pada istihsan. Imam Abu Hanifah beralasan bahwa hirabah biasanya tidak terjadi di kota, tetapi dijalan penghubung antara desa atau kota.
Abu Yusuf berpendapat bahwa hirabah yang terjadi baik di kota maupun di luar kota tetap akan di kenakan hukuman hudud, Abu Yusuf beralasan demikian karena memegang atas hukum yang aslinya.
Imam Malik dan Imam Syafi’I tidak membedakan antara hirabah yang di padang pasir dan kota. Tindak pidana hirabah bisa terjadi di padang pasir maupun di kota. Akan tetapi, Imam Malik mensyaratkan perbuatan tersebut terjadi didalam kondisi dimana korban tidak mungkin meminta pertolongan. Jika korban dilarang meminta tolong dan pertolongan sebenarnya mungkin didapat jika ia meminta tolong, perbuatan pelaku dianggap hirabah.


Untuk dapat dikatagorikan sebagai hirabah, Imam as-Syafi’i mensyaratkan agar perbuatan tersebut, korban tidak mungkin meminta pertolongan.
Menurut pemakalah, hirabah itu juga bisa dikatagorikan, jikalau jauhnya tempat kejadian dari kota dan pemerintah, lemahnya orang yang ada di tempat kejadian, baik itu kerabat, pemerintah, maupun korban sendiri karena dihalangi untuk meminta pertolongan.
Menurut pemakalah bahwa, tempat berlakunya hukuman terhadap perampokan itu bisa saja terjadi di negara Islam atau negara no-muslim.
Banyak perbedaan pendapat tentang tempat berlakunya hukuman, disini pemakalah menanggapi juga kalau perbedaan pendapat tersebut tidak salah satu sama lainnya, dikarenakan semuanya itu mengeluarkan pendapat pada kasus kejadian dimana mereka berada. Bisa berlaku hukuman di negara Islam bisa juga berlakua hukuman di negara non-Islam, andaikan saja kalau pemerintah di negara non-Islam tersebut mempunyai kekuasaan yang kuat terhadap memberlakukan hukuman tersebut. Seperti kedua contoh yang tadi. Bahwa contoh itu menunjukkan perampokan terjadi di negara non-Islam, yaitu di negara Indonesia, yang mana di negara Indonesia ini bukan hanya orang Islam saja yang tinggal, tapi juga non-Islam.



KESIMPULAN


Hirabah adalah pembegalan ( qat’u at-tariq ) atau pencurian besar. Menamakan pencurian dengan pembegalan adalah bentuk majas, bukan hakikat, karena pencurian adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan pembegalan adalah pengambilan harta secara terang-terangan. Akan tetapi, dalam pembegalan terdapat bentuk sembunyi-sembunyi, yaitu sembunyinya pelaku dari imam ( penguasa / kepala negara )dan orang yang mewakilinya demi keamanan. Karenanya, pencurian tidak dinamkan pembegalan kecuali ia memenuhi beberapa ketentuanyang membuatnya dianggap sebagai pencurian besar.
Unsur pencurian yang paling dasar adalah mencuri harta saja, sedangkan unsur hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, baik pelaku mengambil harta maupun tidak.
Hirabah bisa dilakukan oleh sekelompok orang atau perorangan yang mampu melakukannya.
Agar pelaku hirabah dijatuhi hukuman hudud, Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah terjadi di negara Islam. Jika hirabah terjadi di negara non-Islam, hukuman hudud tidak diwajibkan karena orang yang melaksanakan hukuman hudud yaitu penguasa, tidak memiliki kekuasaan di negara tersebut, padahal dinegara itulah tindak pidana terjadi. Pendapat ini juga dianut oleh ulama Syi’ah Zaidiyah.




DAFTAR PUSTAKA

Ibnul Hammam, Syarh fathul Qadir, ( Jilid IV , Penerbit al-Manar )
Prof. Abdul Rahman I Doi Ph.D, Tindak PIdana dalam Syari’at Islam ( Cet. I , PT. Rineka Cipta , Jakarta , 1992 )
Prof.Dr. H. Umar Shihab, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam ( Jilid V , Edisi Indonesia , PT. Kharisma Indonesia , Bogor )
Serambi Indonesia , Nasional ; Polisi Malaysia Gadungan Rampok Mahasiswa Indonesia ( Senin, 15 Desember 2008 )
Gatra , majalah berita mingguan; Bagian Hukum, Perampokan ( Edisi Khusus , PT. Era Media Informasi , 19-25 Juni 2008 )
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam ( Cet. I , Sinar Grafika , Jakarta, 2005 )

Wednesday, March 30, 2011

hehehehehe

Tuesday, March 8, 2011


Diklat Ushuluddin ke-39 Miftahul Huda

Manonjaya - Tasikmalaya

Jangan lupa Komentarnya

Subhanalloh

Download Content

Ensiklopedia Software Tips

scan QR code

QRCode