Bagikan Ke

Wednesday, June 16, 2010

Sekilas Perkembangan Positivisme

Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.

Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman metafisis kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio.

Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stuart Mill (1803-1873)—filsuf logika berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer).

Periode kedua dari perkembangan positivisme banyak diwarnai oleh pemikiran dan pendapat filsuf Austria, Ernst Mach (1838-1916), yang dikenal sebagai tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan Machisme. Selain Mach dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.

Pada tahun 1922 Morits Schlick—waktu itu professor ilmu-ilmu induktif di Universitas Vienna—mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai Vienna Circle (Halaqah Vienna). Perkumpulan yang dianggap sebagai penerus Machisme ini diikuti oleh banyak ilmuwan matematika dan fisika, antara lain: Waismann, Neurach, H. Feigl, F. Kaufmann dan Carnap. Kajian-kajian yang diadakan oleh perkumpulan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, terutama melalui bukunya yang terkenal, Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pertama kali pada tahun 1922 dalam bahasa Jerman.

Pada masa Vienna Circle inilah positivisme menemukan bentuknya yang matang. Dan pada masa ini pulalah—tepatnya tahun 1931—untuk pertama kali nama positivisme pertama kali dipakai oleh H. Feigl. Selain positivisme sebenarnya dikenal pula dua nama lain yang digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran yang dikenal dalam kalangan Vienna Circle ini, yaitu Empiricism dan Logical Empiricism, yang kesemuanya mempunyai inti yang sama yaitu penolakan terhadap metafisika dengan alasan bahwa permasalahan yang dibahas dalam metafisika adalah permasalahan yang berada di luar batas pengalaman manusia sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Positivisme dan Asas Verifikasi (Mabda’ Al-Tahqîq)

Schlick dianggap sebagai orang yang pertama kali mengenalkan asas ini—dalam kalangan Vienna Circle—setelah melakukan diskusi yang panjang dengan Wittgenstein. Secara implisit dalam Tractatus Wittgenstein telah menyatakan penerimaannya terhadap asas verifikasi. Hal inilah yang membuat para pengikut positivisme berpendapat bahwa suatu proposisi (al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Ini sangat erat kaitannya dengan Hume yang membagi proposisi ke dalam dua bagian: pertama, proposisi logis dan matematis; dan kedua, proposisi empiris. Hanya dua jenis proposisi inilah yang dianggap memiliki arti. Oleh karena itulah para pengikut positivisme menolak proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika, dengan alasan bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua jenis proposisi di atas.

Untuk memperjelas kajian kita, berikut ini akan kita uraikan pengertian proposisi, macam-macamnya, dan beberapa hal penting yang berkenaan dengan itu.

Proposisi adalah satuan pemikiran. Dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa proposisi adalah batas terkecil dari pembicaraan yang dapat dipahami. Apabila kita membagi-bagi satu kesatuan pemikiran—sebuah makalah misalnya—maka bagian-bagian terkecil dari pemikiran tersebut itulah yang kita namakan sebagai proposisi. Sebenarnya proposisi masih bisa dibagi lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Hanya saja bagian-bagian tersebut sudah tidak dapat dikatakan sebagai pemikiran lagi.

Bagian terkecil dari pemikiran (proposisi) inilah yang dapat dibuktikan benar atau salahnya. Cara yang digunakan untuk membuktikan bahwa suatu proposisi bernilai benar atau salah sangat tergantung pada jenis proposisinya. Dalam hal ini dikenal dua jenis proposisi, yaitu:

a. Proposisi berita (al-qadhîyah al-ikhbârîyah)

Proposisi berita adalah proposisi yang memberitakan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Cahaya berjalan dengan kecepatan 186 ribu mil per detik.” Dalam proposisi ini kita mendapatkan pengetahuan baru, yaitu bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan tersebut. Informasi tentang kecepatan cahaya yang dimuat oleh proposisi ini merupakan tambahan dari pengertian cahaya yang sebelumnya sudah kita ketahui. Oleh karena itulah proposisi ini disebut dengan proposisi berita.

Contoh lain dari proposisi jenis ini adalah: “Ahmad Syawqi adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra Arab.” Subyek dari proposisi ini adalah Ahmad Syawqi. Ahmad Syawqi adalah sebuah nama. Dan tidak dengan sendirinya pemilik nama itu adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra Arab. Oleh karena itu, proposisi di atas memberitakan kepada kita sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Cara yang digunakan untuk menghukumi proposisi jenis ini, apakah benar atau salah, adalah dengan kembali pada kenyataan (alam). Sebuah proposisi yang berbunyi: “Gula mencair dalam air”, dapat kita buktikan kebenarannya dengan mengambil sesendok gula dan memasukkannya ke dalam segelas air. Dan karena kenyataan membuktikan bahwa apabila kita memasukkan gula ke dalam air maka dia akan mencair, maka dapat kita simpulkan bahwa proposisi di atas adalah benar. Oleh karena itu, apabila ada proposisi yang berbunyi: “Gula tidak mencair di dalam air”, maka ini adalah proposisi yang salah.

b. Proposisi pengulangan (al-qadhîyah al-tikrârîyah, repetisi)

Yang dimaksud dengan proposisi pengulangan adalah proposisi yang unsur-unsur predikatnya merupakan pengulangan dari unsur-unsur subyeknya. Dengan demikian proposisi jenis ini tidak memberikan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Janda adalah perempuan yang pernah menikah.” Proposisi ini tidak memberitakan sesuatu yang baru bagi kita, karena apabila kita ditanya ‘Apakah itu janda?’, kita tidak akan bisa menjawabnya kecuali dengan menyebut sifat yang ada dalam proposisi tersebut, yaitu ‘perempuan yang pernah menikah’. Dengan kata lain lain dapat dijelaskan bahwa subyek dan predikat yang terdapat dalam proposisi pengulangan ini memiliki arti yang sama, hanya saja memiliki susunan kata yang berbeda.

Apabila benar-salahnya proposisi berita ditentukan oleh sesuai-tidaknya proposisi tersebut dengan alam nyata, maka tidak demikian halnya dengan proposisi pengulangan. Nilai kebenaran proposisi pengulangan ditentukan oleh kesesuain definisi antara unsur-unsur penyusun proposisi tersebut. Dan ini sangat tergantung pada kesepakatan kita dalam mendefinisikan suatu kata. Selama kita masih sepakat bahwa janda adalah perempuan yang pernah menikah, maka proposisi di atas adalah benar dan akan salah apabila dikatakan bahwa janda adalah perempuan yang belum menikah, kecuali apabila kita sepakat untuk merubah definisi kata janda.

Seluruh proposisi yang ada ilmu eksakta adalah proposisi berita karena proposisi-proposisi tersebut menggambarkan apa yang terjadi di alam nyata dan sangat erat hubungannya dengan pengalaman. Sedangkan semua proposisi yang ada dalam matematika dan logika adalah proposisi pengulangan karena proposisi-proposisi tersebut hanya merupakan pengulangan susunan kalimat (tahshîl al-hâshil, mengadakan yang sudah ada). Oleh karena itulah, para pengikut positivisme menyatakan bahwa proposisi-proposisi dalam matematika dan logika semuanya bersifat a priori. Namun demikian hal ini tidak lantas menjadikan proposisi-proposisi tersebut keluar dari lingkup pengalaman, tapi justru sebaliknya. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa sebenarnya proposisi-proposisi yang ada dalam matematika dan logika itu—dalam bentuk yang sangat abstrak dan umum—menggambarkan hubungan antara satu benda dengan benda yang lain di alam nyata.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa—menurut positivisme—suatu proposisi dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan benar-salahnya, baik dengan menggunakan verifikasi logis (al-tahaqquq al-manthiqî) maupun verifikasi empiris (al-tahaqquq al-tajrîbî). Sementara proposisi yang tidak mungkin dibuktikan salah-benarnya dengan salah satu dari dua jenis verifikasi ini dianggap tidak mempunyai arti.

Hal ini pada gilirannya sangat mempengaruhi ‘apakah sebenarnya yang benar-benar bisa disebut sebagai ilmu?’ Berdasarkan dua jenis proposisi di atas, positivisme membagi ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu formal yang mencakup matematika, logika (dalam arti sempit), dan logika terapan. Dan kedua, ilmu-ilmu aktual yang mencakup ilmu-ilmu eksakta.

Ilmu-ilmu yang menjadikan manusia sebagai obyek bahasannya—seperti psikologi, ilmu ekonomi dan sosiologi—dianggap sebagai cabang dari eksakta dalam pengertian yang luas, karena materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu ini adalah sesuatu yang ada di alam nyata dan dapat ditangkap melalui panca indera sebagaimana materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu eksakta.

Sedangkan metafisika harus keluar dari lingkaran ilmu. Hal ini disebabkan karena materi yang dibahas dalam metafisika adalah segala sesuatu yang ada di balik alam nyata tapi bukan merupakan bagian dari alam nyata itu. Dan karena manusia tidak dapat menerangkan kecuali sesuatu yang ada di alam nyata, maka proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika tidak dapat dikatakan benar atau salah.

Demikian halnya dengan etika dan estetika. Dua yang terakhir disebut ini tidak dapat digolongkan baik ke dalam ilmu-ilmu formal maupun ilmu-ilmu aktual. Alasannya adalah karena keduanya berhubungan erat dengan perasaan. Dan karena setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda dengan yang lain, maka proposisi-proposisi yang ada dalam keduanya tidak dapat diuji kebenarannya.



Tugas Filsafat Menurut Aliran Positivisme

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.

Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia—sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.

Satu-satunya tugas yang tersisa bagi filsafat adalah analisa bahasa (tahlîl al-lughah). Tujuan dari analisa ini adalah untuk mencapai kejelasan dan ketelitian, menghindari istilah-istilah dan proposisi-proposisi yang tidak jelas (tidak mempunyai arti) yang banyak didapatkan dalam bahasa (terutama bahasa filsafat), dan untuk memperoleh arti yang detail dari suatu proposisi serta menguji apakah proposisi tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa filsafat tidak menambahkan sesuatu yang baru bagi pengetahuan kita dan tidak pula memberi tafsiran atas apa yang terjadi di sekitar kita, tapi yang dikerjakan oleh filsafat hanyalah sekedar memberi batasan arti istilah-istilah bahasa untuk menghindari kerancuan.

Berkenaan dengan tugas filsafat sebagai aktifitas dalam menganalisa bahasa, berikut akan kita bicarakan hubungan antara bahasa dan logika dengan alam.

Menurut positivisme, alam tidaklah tersusun dari kumpulan benda-benda, melainkan terdiri dari kumpulan kejadian-kejadian (al-waqâ’i‘). Russel berkata: Tidak ada materi, tidak pula akal. Hanya sense-data (al-waqâ’i‘ al-hissîyah al-mufradah)-lah satu-satunya yang bisa dibilang ada. Sementara dalam Tractatus, Wittgenstein menulis:

Alam adalah segala sesuatu yang ada. (1)

Alam adalah kumpulan kejadian-kejadian bukan benda-benda. (1,1)

Kejadian-kejadian yang ada di alam ini dapat dibagi ke dalam dua macam. Pertama, kejadian kompleks (waqî‘ah murakkabah). Kejadian kompleks ini dapat dibagi-bagi lagi menjadi kejadian-kejadian yang lebih kecil. Bagian terkecil dari kejadi yang tidak dapat dibagi lagi disebut dengan kejadian atomik (waqî‘ah dzurrîyah), dan ini adalah jenis kedua. Kejadian-kejadian ini digambarkan oleh bahasa melalui proposisi-proposisi. Proposisi yang menggambarkan kejadian kompleks disebut dengan proposisi kompleks (qadhîyah murakkabah), dan proposisi yang menggambarkan kejadian atomik disebut dengan proposisi atomik (qadhîyah dzurrîyah).

Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bahasa dengan alam adalah seperti hubungan antara gambar dan aslinya. Dengan demikian kita dapat membedakan proposisi-proposisi yang mempunyai arti dan proposisi-proposisi yang tidak mempunyai arti. Proposisi yang mempunyai arti adalah proposisi menggambarkan suatu kejadian di alam nyata, meskipun tidak selalu benar. Sementara proposisi yang tidak menggambarkan suatu kejadian di alam nyata—seperti proposisi-proposisi metafisika—tidak bisa dikatakan benar atau salah karena sama sekali tidak mempunyai arti.

Proposisi-proposisi bahasa tak lain adalah gambaran logis dari kejadian-kejadian yang ada di alam. Oleh karena itu, proposisi-proposisi tersebut tidak hanya sekedar menggambarkan benda-benda saja, tapi menggambarkan hubungan antar benda-benda tersebut. Hubungan antar benda-benda dalam kejadian dan hubungan antar nama-nama dalam proposisi disebut dengan structure (bunyah). Kalau kita perhatikan benda-benda yang ada di alam dan hubungan yang terjadi di antara benda-benda tersebut, akan kita dapatkan satu hubungan yang bersifat umum yang disebut dengan The Logical Structure of The World, yang menggambarkan keterkaitan antara logika dan alam, dimana hubungan-hubungan yang terjadi antar benda di alam tak lain adalah hubungan logis. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa logika itu menyelai alam, dalam arti bahwa batasan-batasan alam dengan sendirinya adalah batasan-batasan logika. Ini berarti bahwa gambaran logis yang dilakukan oleh bahasa tidak boleh melampaui apa yang terjadi di alam.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, para pengikut positivisme menganggap permasalahan-permasalahan yang selama ini dihadapi oleh filsafat sebenarnya bukanlah permasalahan yang sesungguhnya. Semua itu disebabkan oleh salahnya pemahaman terhadap logika bahasa. Filsafat banyak sekali berbicara tentang sesuatu yang tidak mempunyai arti, seperti al-‘aql al-kullî (rasio jeneral) , al-zamân al-wujûdî (masa eksistensial), al-rûh al-muthlaq (ruh absolut) dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh usaha-usaha para filsuf untuk memberi tafsiran terhadap apa yang terjadi di alam secara universal, sehingga mereka terjebak dalam proposisi-proposisi metafisis.

Berangkat dari semua yang kita bicarakan di atas, para pengikut positivisme berpendapat bahwa agar filsafat terbebas dari metafisika, maka tugasnya harus dibatasi sekedar sebagai analisa bahasa. Sedangkan tafsiran terhadap apa yang terjadi di alam dan pada diri manusia diserahkan kepada ilmu-ilmu eksakta (dalam arti yang luas).

Positivisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Saturday, June 5, 2010

MAQOSID AL-SYARI'AH

TUJUAN PENSYARI`ATAN HUKUM ISLAM

(MAQASHID AL-SYARI`AH)

oleh Zefri Ansari

Pendahuluan

Hukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia, tanpa adanya hukum maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan kebebasan orang lain.

Tuhan mensyariatkan hukum-Nya bagi manusia tentunya bukan tanpa tujuan, melainkan demi kesejahteraan kemaslahatan umat itu sendiri. Perwujudan perintah Tuhan dapat dilihat lewat Al-Quran dan penjabarannya dapat tergambar dari hadis Nabi Muhammad saw, manusia luar biasa yang mempunyai hak khusus untuk menerangkan kembali maksud Tuhan dalam Al-Quran.

Jadi syariat Allah kepada manusia pasti mempunyai suatu tujuan, atau yang selalu disebut dengan maqashid al-syariah atau disebut juga maqashid al-ahkam. Maqashid syariah merupakan bagian dari falsafah tasyri` yaitu falsafah yang memancarkan hukum Islam dan atau menguatkan hukum Islam dan memelihara hukum Islam.

TUJUAN PENSYARI`ATAN HUKUM ISLAM

(MAQASHID AL-SYARI`AH)

1. Definisi Maqashid Al-Syari`ah

Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan.[1] al-syari`ah diartikan sebagai :

المواضع تحددالي الماء [2]

“Jalan menuju sumber air”

Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. [3]

Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.

Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah[4] :

هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا

“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.

1. Argumentasi Maqashid al-Syari`ah

Di dalam al-Quran salah satu ayat yang menyatakan bahwa hukum Islam itu diturunkan mempunyai tujuan kemaslahatan bagi manusia.

“ Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah memimpin orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya dan memimpin mereka ke jalan yang lurus. (Q.S. Al-Maidah : 15-16).

Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. Namun para ulama kalam dalam menanggapi masalah menta`lilkan hukum dengan maslahah – walaupun mereka mangakui bahwa hukum Islam mengandung maslahat – mempunyai tiga pendapat : [5]

Pendapat pertama : bahwa hukum syara` tidak boleh dita`lilkan dengan maslahah. Jelasnya mungkin Allah mensyariatkan hukum yang tidak mengandung maslahah. Demikianlah pendapat golongan Asy`ariah dan Zahiriah, walaupun mereka mengakui segala hukum syara` disyariatkan untuk kemaslahatan manusia itu.

Pendapat kedua : maslahah itu dapat dijadikan illat sebagai hukum suatu tanda saja bagi hukum, bukan sebagai suatu penggerak yang menggerakkan Allah menetapkan suatu hukum itu. Demikianlah pendapat sebagian ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah.

Pendapat ketiga : segala hukum Allah dita`lilkan dengan masalah karena Allah telah berjanji sedemikian dan karena Allah Tuhan yang senantiasa mencurahkan Rahmat atas hambanya, menolak daripada mereka kesempitan dan kebinasaan. Pendapat ketiga ini adalah pendapat golongan Mu`tazilah, Maturidiah, sebagian ulama Hambaliah dan semua ulama Malikiah.

Sesungguhnya perbedaan faham ini hanyalah pada teori saja, tapi dalam praktek semua mereka sepakat menetapkan bahwasanya segala hukum syara` adalah wadah kemaslahatan yang hakiki dan tidak ada suatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan.

1. Maqashid al-Syari`ah

Tujuan hukum terbagi kepada dua, yaitu yang pertama Qasd Syara` yang bermakna tujuan Pencipta hukum, sedangkan yang kedua Qasd al-Mukallaf (kondisi mukallaf dalam memahami hukum yang terkait dengan maslahah baik tingkatannya, ciri-cirinya, relativitasnya, dan keabsolutannya). [6]

Tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu –berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih –ada 5 unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah

1. Agama (hifzh al-din);
2. Jiwa (hifzh an-nafs);
3. Akal, (hifzh al-`aql);
4. Keturunan (hifzh an-nasb) dan ;
5. Harta. (hifzh al-mal);

Guna kepentingan menetapkan hukum kelima unsur tersebut dibedakan menjadi 3 tingkat yaitu :

1) Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat. [7]

2) Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.

3) Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan kesulitan.

Memelihara Agama (hifzh al-din)

Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a) Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;

b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.

c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat. [8]

Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)

Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat

a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.

c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.[9]

Memelihara akal, (hifzh al-`aql)

Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :

a) Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.

b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.

c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. [10]

Memelihara keturunan (hifzh an-nasb)

Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga

a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.

b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.

c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. [11]

Memelihara harta. (hifzh al-mal)

Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :

a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.

b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.

c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. [12]

1. Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum

Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan. [13]

Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa dilaksanakan bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang memabukkan.

Dari sini dapat dikembangkan dengan metode qiyas bahwa setiap yang memabukkan adalah haram

[1] Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cetakan pertama ( Jakarta : Raja GraPindo Persada, 1996), hal. 60. beliau mengutip dari kitab Lisan al-Arab karya Ibnu Manzur al-Afriqy.

[2] Ibid, hal. 60

[3] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995), Hal.10

[4] Asafari Jaya Bakri, Konsep… hal. 64

[5] T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Yogyakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 181-183

[6] Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, cetakan pertama, (Bandung : Cita Pustaka, 2007), hal. 103

[7] T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah … hal. 187

[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 128.

[9] Ibid, hal. 129.

[10] Ibid, hal. 129-130.

[11] Ibid, hal. 130.

[12] Ibid, hal. 131

[13] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, cetakan pertama (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal. 237.

Thursday, June 3, 2010

FILSAFAT ISLAM

More About : filsafat islam
Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.

Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama
dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan
ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam.Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam
teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri
dari teologi rasional ini ialah:

1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka
tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
dalam memahami wahyu.Karena itu aliran ini menganut faham
qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.

3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan
konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan
kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi
juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.

l-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya
konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di
luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah
benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah
jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk jenis.

Yang
diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.

Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet.Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di
zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.

Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat
emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.

Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi
melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.

Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.

Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,
apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali.

Sekilas Perkembangan Positivisme

Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.

Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman metafisis kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio.

Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stuart Mill (1803-1873)—filsuf logika berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer).

Periode kedua dari perkembangan positivisme banyak diwarnai oleh pemikiran dan pendapat filsuf Austria, Ernst Mach (1838-1916), yang dikenal sebagai tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan Machisme. Selain Mach dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.

Pada tahun 1922 Morits Schlick—waktu itu professor ilmu-ilmu induktif di Universitas Vienna—mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai Vienna Circle (Halaqah Vienna). Perkumpulan yang dianggap sebagai penerus Machisme ini diikuti oleh banyak ilmuwan matematika dan fisika, antara lain: Waismann, Neurach, H. Feigl, F. Kaufmann dan Carnap. Kajian-kajian yang diadakan oleh perkumpulan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, terutama melalui bukunya yang terkenal, Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pertama kali pada tahun 1922 dalam bahasa Jerman.

Pada masa Vienna Circle inilah positivisme menemukan bentuknya yang matang. Dan pada masa ini pulalah—tepatnya tahun 1931—untuk pertama kali nama positivisme pertama kali dipakai oleh H. Feigl. Selain positivisme sebenarnya dikenal pula dua nama lain yang digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran yang dikenal dalam kalangan Vienna Circle ini, yaitu Empiricism dan Logical Empiricism, yang kesemuanya mempunyai inti yang sama yaitu penolakan terhadap metafisika dengan alasan bahwa permasalahan yang dibahas dalam metafisika adalah permasalahan yang berada di luar batas pengalaman manusia sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Positivisme dan Asas Verifikasi (Mabda’ Al-Tahqîq)

Schlick dianggap sebagai orang yang pertama kali mengenalkan asas ini—dalam kalangan Vienna Circle—setelah melakukan diskusi yang panjang dengan Wittgenstein. Secara implisit dalam Tractatus Wittgenstein telah menyatakan penerimaannya terhadap asas verifikasi. Hal inilah yang membuat para pengikut positivisme berpendapat bahwa suatu proposisi (al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Ini sangat erat kaitannya dengan Hume yang membagi proposisi ke dalam dua bagian: pertama, proposisi logis dan matematis; dan kedua, proposisi empiris. Hanya dua jenis proposisi inilah yang dianggap memiliki arti. Oleh karena itulah para pengikut positivisme menolak proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika, dengan alasan bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua jenis proposisi di atas.

Untuk memperjelas kajian kita, berikut ini akan kita uraikan pengertian proposisi, macam-macamnya, dan beberapa hal penting yang berkenaan dengan itu.

Proposisi adalah satuan pemikiran. Dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa proposisi adalah batas terkecil dari pembicaraan yang dapat dipahami. Apabila kita membagi-bagi satu kesatuan pemikiran—sebuah makalah misalnya—maka bagian-bagian terkecil dari pemikiran tersebut itulah yang kita namakan sebagai proposisi. Sebenarnya proposisi masih bisa dibagi lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Hanya saja bagian-bagian tersebut sudah tidak dapat dikatakan sebagai pemikiran lagi.

Bagian terkecil dari pemikiran (proposisi) inilah yang dapat dibuktikan benar atau salahnya. Cara yang digunakan untuk membuktikan bahwa suatu proposisi bernilai benar atau salah sangat tergantung pada jenis proposisinya. Dalam hal ini dikenal dua jenis proposisi, yaitu:

a. Proposisi berita (al-qadhîyah al-ikhbârîyah)

Proposisi berita adalah proposisi yang memberitakan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Cahaya berjalan dengan kecepatan 186 ribu mil per detik.” Dalam proposisi ini kita mendapatkan pengetahuan baru, yaitu bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan tersebut. Informasi tentang kecepatan cahaya yang dimuat oleh proposisi ini merupakan tambahan dari pengertian cahaya yang sebelumnya sudah kita ketahui. Oleh karena itulah proposisi ini disebut dengan proposisi berita.

Contoh lain dari proposisi jenis ini adalah: “Ahmad Syawqi adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra Arab.” Subyek dari proposisi ini adalah Ahmad Syawqi. Ahmad Syawqi adalah sebuah nama. Dan tidak dengan sendirinya pemilik nama itu adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra Arab. Oleh karena itu, proposisi di atas memberitakan kepada kita sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Cara yang digunakan untuk menghukumi proposisi jenis ini, apakah benar atau salah, adalah dengan kembali pada kenyataan (alam). Sebuah proposisi yang berbunyi: “Gula mencair dalam air”, dapat kita buktikan kebenarannya dengan mengambil sesendok gula dan memasukkannya ke dalam segelas air. Dan karena kenyataan membuktikan bahwa apabila kita memasukkan gula ke dalam air maka dia akan mencair, maka dapat kita simpulkan bahwa proposisi di atas adalah benar. Oleh karena itu, apabila ada proposisi yang berbunyi: “Gula tidak mencair di dalam air”, maka ini adalah proposisi yang salah.

b. Proposisi pengulangan (al-qadhîyah al-tikrârîyah, repetisi)

Yang dimaksud dengan proposisi pengulangan adalah proposisi yang unsur-unsur predikatnya merupakan pengulangan dari unsur-unsur subyeknya. Dengan demikian proposisi jenis ini tidak memberikan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Janda adalah perempuan yang pernah menikah.” Proposisi ini tidak memberitakan sesuatu yang baru bagi kita, karena apabila kita ditanya ‘Apakah itu janda?’, kita tidak akan bisa menjawabnya kecuali dengan menyebut sifat yang ada dalam proposisi tersebut, yaitu ‘perempuan yang pernah menikah’. Dengan kata lain lain dapat dijelaskan bahwa subyek dan predikat yang terdapat dalam proposisi pengulangan ini memiliki arti yang sama, hanya saja memiliki susunan kata yang berbeda.

Apabila benar-salahnya proposisi berita ditentukan oleh sesuai-tidaknya proposisi tersebut dengan alam nyata, maka tidak demikian halnya dengan proposisi pengulangan. Nilai kebenaran proposisi pengulangan ditentukan oleh kesesuain definisi antara unsur-unsur penyusun proposisi tersebut. Dan ini sangat tergantung pada kesepakatan kita dalam mendefinisikan suatu kata. Selama kita masih sepakat bahwa janda adalah perempuan yang pernah menikah, maka proposisi di atas adalah benar dan akan salah apabila dikatakan bahwa janda adalah perempuan yang belum menikah, kecuali apabila kita sepakat untuk merubah definisi kata janda.

Seluruh proposisi yang ada ilmu eksakta adalah proposisi berita karena proposisi-proposisi tersebut menggambarkan apa yang terjadi di alam nyata dan sangat erat hubungannya dengan pengalaman. Sedangkan semua proposisi yang ada dalam matematika dan logika adalah proposisi pengulangan karena proposisi-proposisi tersebut hanya merupakan pengulangan susunan kalimat (tahshîl al-hâshil, mengadakan yang sudah ada). Oleh karena itulah, para pengikut positivisme menyatakan bahwa proposisi-proposisi dalam matematika dan logika semuanya bersifat a priori. Namun demikian hal ini tidak lantas menjadikan proposisi-proposisi tersebut keluar dari lingkup pengalaman, tapi justru sebaliknya. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa sebenarnya proposisi-proposisi yang ada dalam matematika dan logika itu—dalam bentuk yang sangat abstrak dan umum—menggambarkan hubungan antara satu benda dengan benda yang lain di alam nyata.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa—menurut positivisme—suatu proposisi dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan benar-salahnya, baik dengan menggunakan verifikasi logis (al-tahaqquq al-manthiqî) maupun verifikasi empiris (al-tahaqquq al-tajrîbî). Sementara proposisi yang tidak mungkin dibuktikan salah-benarnya dengan salah satu dari dua jenis verifikasi ini dianggap tidak mempunyai arti.

Hal ini pada gilirannya sangat mempengaruhi ‘apakah sebenarnya yang benar-benar bisa disebut sebagai ilmu?’ Berdasarkan dua jenis proposisi di atas, positivisme membagi ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu formal yang mencakup matematika, logika (dalam arti sempit), dan logika terapan. Dan kedua, ilmu-ilmu aktual yang mencakup ilmu-ilmu eksakta.

Ilmu-ilmu yang menjadikan manusia sebagai obyek bahasannya—seperti psikologi, ilmu ekonomi dan sosiologi—dianggap sebagai cabang dari eksakta dalam pengertian yang luas, karena materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu ini adalah sesuatu yang ada di alam nyata dan dapat ditangkap melalui panca indera sebagaimana materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu eksakta.

Sedangkan metafisika harus keluar dari lingkaran ilmu. Hal ini disebabkan karena materi yang dibahas dalam metafisika adalah segala sesuatu yang ada di balik alam nyata tapi bukan merupakan bagian dari alam nyata itu. Dan karena manusia tidak dapat menerangkan kecuali sesuatu yang ada di alam nyata, maka proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika tidak dapat dikatakan benar atau salah.

Demikian halnya dengan etika dan estetika. Dua yang terakhir disebut ini tidak dapat digolongkan baik ke dalam ilmu-ilmu formal maupun ilmu-ilmu aktual. Alasannya adalah karena keduanya berhubungan erat dengan perasaan. Dan karena setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda dengan yang lain, maka proposisi-proposisi yang ada dalam keduanya tidak dapat diuji kebenarannya.



Tugas Filsafat Menurut Aliran Positivisme

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.

Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia—sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.

Satu-satunya tugas yang tersisa bagi filsafat adalah analisa bahasa (tahlîl al-lughah). Tujuan dari analisa ini adalah untuk mencapai kejelasan dan ketelitian, menghindari istilah-istilah dan proposisi-proposisi yang tidak jelas (tidak mempunyai arti) yang banyak didapatkan dalam bahasa (terutama bahasa filsafat), dan untuk memperoleh arti yang detail dari suatu proposisi serta menguji apakah proposisi tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa filsafat tidak menambahkan sesuatu yang baru bagi pengetahuan kita dan tidak pula memberi tafsiran atas apa yang terjadi di sekitar kita, tapi yang dikerjakan oleh filsafat hanyalah sekedar memberi batasan arti istilah-istilah bahasa untuk menghindari kerancuan.

Berkenaan dengan tugas filsafat sebagai aktifitas dalam menganalisa bahasa, berikut akan kita bicarakan hubungan antara bahasa dan logika dengan alam.

Menurut positivisme, alam tidaklah tersusun dari kumpulan benda-benda, melainkan terdiri dari kumpulan kejadian-kejadian (al-waqâ’i‘). Russel berkata: Tidak ada materi, tidak pula akal. Hanya sense-data (al-waqâ’i‘ al-hissîyah al-mufradah)-lah satu-satunya yang bisa dibilang ada. Sementara dalam Tractatus, Wittgenstein menulis:

Alam adalah segala sesuatu yang ada. (1)

Alam adalah kumpulan kejadian-kejadian bukan benda-benda. (1,1)

Kejadian-kejadian yang ada di alam ini dapat dibagi ke dalam dua macam. Pertama, kejadian kompleks (waqî‘ah murakkabah). Kejadian kompleks ini dapat dibagi-bagi lagi menjadi kejadian-kejadian yang lebih kecil. Bagian terkecil dari kejadi yang tidak dapat dibagi lagi disebut dengan kejadian atomik (waqî‘ah dzurrîyah), dan ini adalah jenis kedua. Kejadian-kejadian ini digambarkan oleh bahasa melalui proposisi-proposisi. Proposisi yang menggambarkan kejadian kompleks disebut dengan proposisi kompleks (qadhîyah murakkabah), dan proposisi yang menggambarkan kejadian atomik disebut dengan proposisi atomik (qadhîyah dzurrîyah).

Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bahasa dengan alam adalah seperti hubungan antara gambar dan aslinya. Dengan demikian kita dapat membedakan proposisi-proposisi yang mempunyai arti dan proposisi-proposisi yang tidak mempunyai arti. Proposisi yang mempunyai arti adalah proposisi menggambarkan suatu kejadian di alam nyata, meskipun tidak selalu benar. Sementara proposisi yang tidak menggambarkan suatu kejadian di alam nyata—seperti proposisi-proposisi metafisika—tidak bisa dikatakan benar atau salah karena sama sekali tidak mempunyai arti.

Proposisi-proposisi bahasa tak lain adalah gambaran logis dari kejadian-kejadian yang ada di alam. Oleh karena itu, proposisi-proposisi tersebut tidak hanya sekedar menggambarkan benda-benda saja, tapi menggambarkan hubungan antar benda-benda tersebut. Hubungan antar benda-benda dalam kejadian dan hubungan antar nama-nama dalam proposisi disebut dengan structure (bunyah). Kalau kita perhatikan benda-benda yang ada di alam dan hubungan yang terjadi di antara benda-benda tersebut, akan kita dapatkan satu hubungan yang bersifat umum yang disebut dengan The Logical Structure of The World, yang menggambarkan keterkaitan antara logika dan alam, dimana hubungan-hubungan yang terjadi antar benda di alam tak lain adalah hubungan logis. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa logika itu menyelai alam, dalam arti bahwa batasan-batasan alam dengan sendirinya adalah batasan-batasan logika. Ini berarti bahwa gambaran logis yang dilakukan oleh bahasa tidak boleh melampaui apa yang terjadi di alam.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, para pengikut positivisme menganggap permasalahan-permasalahan yang selama ini dihadapi oleh filsafat sebenarnya bukanlah permasalahan yang sesungguhnya. Semua itu disebabkan oleh salahnya pemahaman terhadap logika bahasa. Filsafat banyak sekali berbicara tentang sesuatu yang tidak mempunyai arti, seperti al-‘aql al-kullî (rasio jeneral) , al-zamân al-wujûdî (masa eksistensial), al-rûh al-muthlaq (ruh absolut) dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh usaha-usaha para filsuf untuk memberi tafsiran terhadap apa yang terjadi di alam secara universal, sehingga mereka terjebak dalam proposisi-proposisi metafisis.

Berangkat dari semua yang kita bicarakan di atas, para pengikut positivisme berpendapat bahwa agar filsafat terbebas dari metafisika, maka tugasnya harus dibatasi sekedar sebagai analisa bahasa. Sedangkan tafsiran terhadap apa yang terjadi di alam dan pada diri manusia diserahkan kepada ilmu-ilmu eksakta (dalam arti yang luas).

Jangan lupa Komentarnya

Subhanalloh

Download Content

Ensiklopedia Software Tips

scan QR code

QRCode