Bagikan Ke

Tuesday, May 11, 2010

Ringkasan SejarahPeradilan Islam di Indonesia

1.Peradilan Islam Pada Masa Kesultanan
Setelah islam menjadi kekuatan politik yaitu dengan cara masuk pada kesultanan-kesultanan, maka pimpinan kesultanan tersebut menilai bahwa pentingnya suatu peradilan yang mengatur maslah-masalah yang timbul di masyarakat khususnya perkara perdata. Dengan demikian para pemimpin tersebut mengangkat pejabat agama yang dapat mengadili perkara-perkara tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan islam bercorak majemuk. Kemajemukan tersebut masih bergantung pada proses islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada pada lingkungan kesultanan masing-masing (Cik Hasan Bisiri ; 1996: 113).
Menurut R.Tresna 1977:17) dengan masuknya agama islam ke Indonesia, maka tata hukum di Indonesia menglami perubahan. Hukum islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum Pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya kedalam berbagi aspek kehidupan masyarakat pada umumya.
Pada masa pemerinthan sultan Agung di Mataram Peradilan dilaksanakan di surambi mesjid, sehingga peradilan pada masa ini disebut Peradilan Surambi. Peradilan ini dipimpin oleh penghulu yang didampingi oleh beberapa orang ulama dari pesantern sebagai anggota majelis. Hasil dari keputusan Peradilan ini akan menjadi pertimbangan untuk Sultan Agung dalam menyelesaikan perkara. karena pada dasarnya pimpinan pengadilan tersebut adalah seorang Sultan, dan keputusan dari Sultan Agung tidak pernah bertentangan dengan keputusan dari Penghulu.
Setelah masa Sultan agung berakhir, kemudian digantikan oleh Susuhunan Amangkurat Ke I (1645), ia menghidupkan kembali pengadilan pradata. Alasannya karena dia tidak begitu suka terhadap pemuka-pemuka islam dan ia berusaha mengurangi pengaruh alim ulama dalam pengadilan.
Menurut R. Tresna (1977:18) diwaktu Amangkurat ke I, di Ibu Kota kerajaan ada 4 orang jaksa, yang harus menerima segala perkara yang diajukan dari segala sudut kerajaan dan mempersiapkannya untuk dihadapkan kepada pengadilan raja. Pengadilan Pradata, dimana perkara-perkara diadili oleh raja sendiri, hanya diadakan di Negara agung, yaitu pusat pemerintahan, ibu kota Negara.
Dalam perkembangan berikutnya pengadilan surambi masih menunjukan keberadaanya sampai masa penjajahan. Wewenang pengadilan tersebut masih terbatas yaitu menyelesaikan perselisihan dan persengketaan perkawinan dan kewarisan.
Orang-orang banten sudah memluk agama islam sebelum kekuasaan negara direbut oleh Faltehan. Sehingga pengadilan di Banten disusun menurut pengertian islam. Menurut R.Tresna (1977:23) jikalau sebelum tahun 1600 pernah juga ada bentukan-bentukan pengadilan yang berdasar pada hukum Hindu, seperti yang mungkin pernah ada dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Maka di waktu sultan Hasanudin memegang kekuasaan sudah tidak nampak lagi bekas-bekasnya sedikitpun. Bagaimanapun juga, pada anad ke 17 di Banten itu hanya ada suatu macam Pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh qadhi sebagai hakim seorang diri.
Kesultanan di Cirebon didirikan pada waktu yang hampir sama dengan kesultanan Banten. Sehingga masih terikat pada norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-Kuno.Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tuga orang sultan, yaitu sultan Anom, Sultan Sepuh dan Panembahan Cirebon. Dengan demikian, jika ada suatu persidangan maka ada bebrapa orang perwakilan dari ketiga orang Sultan tersebut. Kitab Hukum yang digunakan adalah papakem Cirebon.

5. Peradilan Islam pada masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, ada 5 tatanan peradilan. Yaitu :
a. Peradilan Gubermen. Tersebar diseluruh daerah Hindia-Belanda
b. Perdailan Pribumi, tersebar di luar jawa dan Madura yaitu di Kresidenan Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan Dan Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku, dan di Pulau Lombok dari Keresidenan Bali dan Lombok.
c. Peradilan Swapraja, tersebar hampir di seluruh daerah swapraja, kecuali Pakualaman dan Pontianak.
d. Peradilan Agama, tersebar didaerah-daerah tempat berkedudukan peradilan Gubermen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah Swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
e. Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubermen.
6. Peradilan Islam pada masa penjajahan Jepang
Tahun 1942, adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Jepang mengetahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Sehingga mereka bermaksud untuk mencari dukungan kepada rakyat Indonesia untuk melawan sekutu. Cara yang ditempuh Jepang untuk mencari dukungan dari penduduk Indonesia adalah dengan memberikan toleransi terhadap berkembangnya ORMAS islam. Selain itu, Jepang juga memberikan toleransi kepada muslim untuk menjadikan islam sebagai dasar negara.
Masa pemerintahan Jepang memberi beberapa kebijakan yang berkaitan dengan perundangan dan peradilan yaitu bahwa semua peraturan perundangan yang berasal dari pemerintahan belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan Peradilan Agama dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, dan kaikoo kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi, berdasarkan auran peralihan pasal 3 Bala Tentara Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 Maret 1942 Nomor 1.
Pada tanggal 29 April 1942, pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No 14 tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Nippon. Dalam pasal 1, menjelaskan bahwa Jawa-Madura telah diadakan “Gunsei Hooin” (Pengadilan Pemerintah Bala Tentara), yang terdiri dari Tihoo Hooin (Pengadilan Negri), Ken Hooin ( Pengadilan Kabupaten), Gun Hooin (Pengadilan Kewadanaan), Kaikioo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam tertinggi), Sooryoo hooin (Rapat Agama).
Pada akhir Januari tahun 1945, keduduka Peradilan Agama pernah terancam dihapuskan. Ini terjadi karena pemerintah Bala Tentara mempertanykan kinerja Penghulu. Selain itu, pada tanggal 14 April 1945 Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo Aanyo Kaigi Jhimusitsu) kedudukan Pengadilan Agama tidak diperlukan lagi karena untuk mengadili sesorang yang berhubungan dengan agamanya diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Tetapi karena pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesi menyatakan kemerdekaannya, maka keadaan tersebut tidak pernah terjadi sehingga Pengadilan Agama tetap diakui keberadaanya.
7. Peradilan Islam pada masa awal kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, merupakan awal baru perubahan dalam segala bidang. Begitupula dengan sisitem peradilan nasional, khususnya peradilan Agama. Menurut Cik Hasan Bisri (2000:122-123) hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia dihadapkan kepada Revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali akan menjajah. Disamping itu, konstitusi yang menjadi dasar penyelenggaraan badan-badan kekuasaan negara memungkinkan penundaan perubahan tersebut.Dengan penetapan Pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946 urusan Mahkamah Islam Tinggi yang berasal dari Depatemen Kehakiman kemudian diserahkan kepada Departemen Agama. Depatemen Agama tersebut didirikan pada tanggal 3 Januari 1946.
- Dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Dalam Undag-undang ini di nyatakan bahwa Peradilan di Indonesia dilakukan oleh 3 lingkungan Peradilan, yaitu Peradilan Militer, Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Zaini A. Nuh dan Basit Adnan (1980: 54) dalam undang-undang Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dinyatakan bahwa Perdailan Agama tidak akan merupakan susuna tersendiri, akan tetapi dimasukan dalam susunan Peradilan Umum secara istimewa, sebagaimana ditentukan dalam pasal 53 Undang-undang itu, yang kesimpulannya sebagi berikut :
a. perkara-perkara perdata antara orang-orang islam yang menurut Hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya harus doperiksa oleh badan-badan Peadilan Umum.
b. Pemeriksaan tersebut dalam semua tingkat Peradilan, yakni Peradilan Negara, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dilakukan oleh seorang Hakim yang eragama islan sebagia anggota yang dinagkat oleh Presiden atas usul Menetri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
Tetapi, Undang-undang ini tidak pernah berlaku. Sehingga berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 45, maka pelaksanna Peradilan Agama masih tetap didasarkan pada stb. 1882 Nomor 152. dengan demikian keberadaan Peradilan Agama masih tetap berlaku sampai masa berikutnya.
Dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia (kesatuan) menggantikan Negara Republik Indinesia Serikat pada Tahun 1949, maka pemerintah mengadakan usaha untuk kesatuan dalam bidang Peradilan secara meneyeluruh. Maka Pada tahun 1951 di dalam lingkungan Peradilan diadakan perubahan penting dengan diundangkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan dan acara pengadilan sipil. Sehninnga Peradilan Agama masih diakui keberadaanya. Selanjutnya,karena Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka untuk luar Jawa dan Madura masih berlaku Huwerijksordonantie 1932 No 4 tahun 1982 dan PP tentang Pencatatan Nikah, Taalak dan Rujuk yang berlaku.
Pada tanggal 26 oktober 1954 disahkan UU No 32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya UU RI tanggal 21 November 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar jawa dan Madura. Pada tahun 1957 dengan PP No 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Provinsi Aceh. Di Aceh dibentuk satu Mahkamah Syari’ah yang mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan Agama Islam Menurut PP No 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura. (Basiq Djalil, 2006:75).

8. Peradilan Islam pada masa Orde Lama
• Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957
Dengan PP No. 29 Tahun 1957, maka di Aceh dibentuk sebuah Mahkamah Syar’iyyah yang mnegadili perkara-perkara yang bertalian dengan agama Islam. Kemudian dengan dihapusnya Provinsi Aceh karena berdirinya NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950, maka adanya Mahkamah Syar’iyyah tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu diadakanlah Mahkamah Syar’iyyah dengan PP No. 29 Tahun 1957. Dengan keluarnya PP No. 29 Tahun 1957 ini keadaan dasar hukum Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura sangat beragam. Karena keadaan tersebut, maka untuk daerah luar Jawa-Madura (kecuali sebagian daerah KalSel dan KalTim diadakan PP No. 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama (Masya) yang isinya sama dengan PP No. 27 Tahun 1957.
Menurut PP No. 29 Tahun 1957, wewenang Pengadilan Agma meliputi :
1. Perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam
2. Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk, fasakh serta hadhanah.
3. Perkara waris,wakaf,hibah,sedekah,baitulmal dan lain-lain berhubungan dengan itu.
4. Perkara perceraian dan mengeashkan bahwa talik talak sudah berlaku.

• Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iah di lur Jawa dan Madura. Wewenang Pengadilan Agama di Luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, meliputi :
1. Nikah. 8. Mut’ah
2. Talak 9. Hadanah
3. Rujuk 10. Perkara Waris
4. Fasakh 11. Wakaf
5. Nafkah 12. Hibah
6. Maskawin (Mahar) 13. Sedekah
7. Tempat Kediaman (Maskan) 14. Baitulmal.

• Lahirnya Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 Tentang Ketentun-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 Tentang Ketentun-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Peradilan secara terang-terangan masih ada Intervensi dari Presiden. Yaitu Presiden masih Campur Tangan atas kekuasaan kehakiman. Dalam UU N0. 1964 ini, disebutkan bahwa: “Demi kehormatan revolusi, negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak presiden dapat turut campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”
9. Peradilan Islam pada Masa Orde Baru
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada Tahun 1967. ketika itu Soeharto diangkat menjadi Presiden. Dengan demikian Soeharto memberi nama pemerintahannya dengan Orde Baru, yaitu Suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-undang Dasar 1945. selanjutnya, untuk Pemerinthan sebelumnya yaitu masa Pemerintahan Soekarno diberi nama Orde Lama.
• Lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 PP No. 14 Tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Undang-undang ini dijelaskan bahwa tidak ada campur tangan dari Kekuasaan Negara yang lain. Tidak seperti sebelumnya pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964.

• Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Lahirnya UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara RI tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan Masyarakat Indonesia. Hukum Perkawinan orang Indonesia Asli yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fikih, menurut sistem hukum Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah. Dengan lahirnya Undang-undang ini maka wewenang Pengadilan Agama bertambah, yaitu :
1. Izin seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974)
2. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat 2)
3. Izin kawin (pasal 6 ayat 5)
4. Pencegahan perkawinan (pasal 7 ayat1)
5. Penolakan perkawinan oleh petugas pecatatan perkawinan (pasal 21 ayat 3)
6. Pembatalan perkawinan (pasal 25)
7. Gugatan suami atau isteri atas kelalaian pihak lainnya dalam menunaikan kewajiban masing-masing (pasal 34 ayat 3)
8. Penyaksian talak (pasal 39)
9. Gugatan perceraian (pasal 49 ayat 1)
10. Hadhanah (pasal 41 sub a)
11. Penentuan biaya penghidupan bagi bekas isteri (pasal 41 sub c)
12. Penentuan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub b)
13. Penentuan sah tidaknya anak atas dasar tuduhan zina oleh suami terhadap isterinya (pasal 44 ayat 2)
14. Pencabutan kekuasaan orangtua (pasal 49 ayat 1)
15. Pencabutan kekuasaan dan penunjukan wali (pasal 53)
16. Pencabutan tentang soal apakah penolakan untuk melakukan perkawinan campuran oleh pegawai pencatat nikah (pasal 60).
10. Peradilan Islam pada Masa Reformasi
Pada tahun 1997, di Indonesia terjadi pergolakan Politik. Yaitu dengan terjadinya demonstrasi oleh Mahasiswa dari seluruh Indonesia. Tujuan dari semua itu adalah menginginkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagi Presiden. Kemudian pada tahun 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presdien saat itu yaitu B.J Habiebie. Sejak itu, terjadi perubahan Struktural yang didasarkan kepada nilai-nilai dasar yang telah disepakati yaitu Reformasi. Dengan demikian berpengaruh pula terhadap Peradilan Agama di Indonesia.
a. Kebijakan Peradilan satu atap
Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dijelaskan bahwa Peradilan secara Teknis Yudisial diawasi dan dibina oleh Mahkamah Agung, sedangkan secara Organisasi, Administrasi dan Finansial dibina dan diawasi oleh departemen masing-masing lingkungan peradilan. Maka selanjutnya, pada tahun 1999 lahir Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 maka baik pembinaan teknis Peradilan maupun pembinaan organisasi, admministrasi dan finasial dilaksanakn oleh Mahkamah Agung, yang lebih dikenal dengan Kebijakan satu atap.
- Disyahkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 49 tersebut dirubah menjadi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.

Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. asuransi syari'ah;
d. reasuransi syari'ah;
e. reksa dana syari'ah;
f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. sekuritas syari'ah;
h. pembiayaan syari'ah;
i. pegadaian syari'ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. bisnis syari'ah.
Oleh karena itu, jelas sudah dengan adanya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ini memperluas kekuasaan Pengadilan agama, dan bukti bahwa Pengadilan Agama semakin lama semakin berkembang dan mempunyai prospek yang positive.
.

Jangan lupa Komentarnya

Subhanalloh

Download Content

Ensiklopedia Software Tips

scan QR code

QRCode